Saturday, December 10, 2016

[Jepang 2016] Universal City Walk, Namba – Dotonburi

(Masih) Selasa, 11 Oktober 2016


Beres mandi dan kembali cantik (iyain aja), kita cabut dari hotel sekitar jam setengah 5. Tujuan pertama kita di Osaka adalaah.. The Wizarding World of Harry Potter, Universal Studio Japan!! Yang sayangnya masih sebatas angan dan impian belaka, haha. Kita memang nggak memplot USJ di Japan Trip kali ini karena budget dan waktu terbatas ibu-ibuu (but someday i will). Cukuplah kita foto di depan globe Universal buat gaya-gayaan (yang mana di SG aku juga melakukan hal yang sama haha #turiskere).

Universal City Walk #1
Berbekal niat cetek itu, kita naik JR lines Fukushima ke Nishikujo, dan ganti kereta ke Universal City Station. Universal City Walk ibaratnya adalah gerbang masuk Universal Studio, yang meskipun kita nggak masuk ke main attractionnya, we still get a glimpse the fun of theme park.

Universal City Walk #2

Universal City Walk #3

Universal City Walk #4

Universal City Walk #5

Ada apa aja di Universal City Walk? Ada globe Universal yang tersohor itu. Ada Osaka Takoyaki Museum (tapi kita nggak kesana). Ada McD dan tempat-tempat makan lainnya. Ada hotel. Ada Lawson (haha!). Ada Hard Rock Cafe. Ada Universal Studio Store. Dan lain-lain.

Dan ngapain aja kita di sana?

Universal City Walk #6

Universal City Walk #7

Universal City Walk #8

Universal City Walk #9

Universal City Walk #10

Universal City Walk #11

Universal City Walk #12

Yaa foto-foto laaah! Sore yang gloomy dan duingiin nggak menyurutkan niat untuk eksis sambil memperhatikan warga Jepang yang kawaai. Mereka lho pergi ke theme park niat banget pake kostum. Ada yang serombongan dateng pake piyama malah (mungkin mau pajamas party di dalem, haha). Tapi aku paling takjub sama mereka yang pake rok mini! Sumpaah hari itu Osaka dingin bangeeet, kok ya tahaan? *makhluk tropis gumunan*


Puas foto-foto sampe kedinginan dan kelaparan, PR pertama di Jepang adalah menentukan mau makan apa dimana. Ada McD tapi kita nggak bisa makan ayam atau burgernya. Ada Takoyaki Museum tapi habis dari situ kita mau ke Dotonbori dan plannya mau nyobain takoyaki di sana. Ada Lawson, tapi kita belum pernah sama sekali masuk sana dan nggak yakin ada sesuatu yang mengenyangkan (kita belum makan siang btw).

Satu-satunya pilihan yang memungkinkan adalah Saizeriya, resto Itali yang lumayan menjamur di Jepang. Pernah baca pas blogwalking kalau Saizeriya ini salah satu restoran “aman” selama kita pesan menu seafood, dan harganya termasuk murah. Saizeriya di kompleks Universal City Walk gampang banget ditemukan karena plang namanya besar banget, meski posisinya di lantai 3.

Kita sempat ragu sebelum masuk, tapi melihat keberadaan mbak-mbak berjilbab di dalam resto, akhirnya kita masuk juga. Dan malam itu Saizeriya ramee banget, nggak heran sih setelah lihat daftar menunya, harganya termasuk murah untuk standar Jepang. Spaghetti seafood yang kupesan harganya “cuma” 499 yen, sampe kita pesen pizza juga buat menu tambahan. Menu di Saizeriya ada gambarnya plus logo hewan kalau memang menu tersebut mengandung hewan-hewanan (i mean hewan di sini yang berkaki 4 yaa). Yang paling aman adalah memesan menu yang nggak ada logo apa-apa seperti spaghetti seafood. Dan yang terpenting adalah baca bismillah dulu sebelum makan *doa khusyuk*. Rasanya lumayan, meskipun yaa agak nggak cocok sama lidah Indonesia, yang penting kenyang dan kita jadi punya tenaga untuk melanjutkan perjalanan.

Namba
Sekitar jam 8 kita beranjak dari Universal City menuju Namba dan Dotonbori. Dari Universal City station kita kembali ke Nishikujo, dan masih dengan JR lines lanjut Nishikujo – Shin imamiya, semua tercover JR Pass. Nah, dari Shin imamiya ke Namba karena kita naik Nankai lines, pasmo akhirnya diberdayakan untuk bayar ongkos transport 150 yen. Sampai sini perjalanan masih berjalan lancar tanpa nyasar. Meskipun aku lupa gimana rute dari stasiun Namba (Nankai), kita sampai juga di Dotonbori. Aku cuma inget kita lewat kompleks pertokoan, dan tentunya dengan bantuan google maps (apalah kita tanpa google maps).

Dotonbori #1

Dotonbori #2

Dotonbori #3

Dotonbori #4

Dotonbori #5

Dotonbori #6

Penanda kalau akhirnya kita sampai di Dotonburi adalah deretan restoran dengan logo super besar dan iconic. Dari pertama sampe, aku langsung suka sama gemerlapnya Osaka pas malem. Rame dan atraktif. Menyenangkan banget buat strolling around at night.

 
 

Dan yang paling mencuri perhatian pertama kali adalah.. stand takoyaki! Baru nyampe udah langsung nyangkut ke Creo Ru yang logonya gede banget, dan kita pesan 6pc takoyaki seharga 450 yen buat bertiga. Yaap, kan niatnya icip-icip doang. Dan kesimpulannya, enakan takoyaki beli di Indonesia! Hahaa. But at least, udah pernah nyicip takoyaki di negara asalnya.


Setelah duduk-duduk menghabiskan takoyaki, kita lanjut cari main attraction di Dotonbori (versiku tentu saja) yang adalah.. logo Glico Man!

Hah, siapa itu Glico Man?

Hahaa, bukan.. dia bukan temennya P-Man! Tau Pocky kan? Nah, Glico itu perusahaan pembuatnya, dan logo mereka si Glico Man itu. Belum afdol main ke Dotonbori Osaka kalo belum foto di depan Glico Man. Tapi ternyata kita salah baca google maps dan malah menjauh ke jalanan yang makin lama makin sepi. Padahal area Dotonbori kan harusnya rame orang. Curiga, kita pun puter badan ke arah datang tadi setelah jalan lumayan jauh (adek lelah baang).

 
 

Dan ternyata oh ternyata, lokasi si Glico Man ternyata nggak jauh dari stand takoyaki tadi. Salahnya kita, kita malah santai aja jalan lurus melewati belokan ke kanan yang rame orang. Deket banget ternyata, tinggal belok kanan dikit udah nemu jembatan, terus balik badan 180° tadaaa.. ketemu deh Glico Man-nya!  

 

Yeay, akhirnya sudah sah bertandang ke Dotonbori! Foto-foto sebentar, kita lalu melanjutkan perjalanan ke Umeda melalui Shinsaibashi Station yang tau-tau aja ketemu setelah kita menyusuri kompleks pertokoan Shinsaibashi. Perjalanan ke Umeda nggak dicover JR Pass, kita naik Osaka subway Midosuji line yang harga tiketnya 240 yen. Cuma 7 menit, kita sudah sampai di Umeda station. Dan nightmare kita dimulai di situ..

Sebelum berangkat ke Jepang, yang paling kutakutkan adalah kemungkinan nyasar dan butuh waktu lama untuk sampai tempat yang dituju. Dari mendarat di Haneda sampai akhirnya tiba di Osaka, everything went so smooth, tanpa insiden nyasar ataupun kebingungan. Tapi ketakutan itu ternyata terjadi di Umeda Station. Tujuan kita di Umeda adalah Umeda Sky Building yang sudah kucatat directionnya, plus exit stationnya. Di petunjuk, kita perlu keluar dari exit 5.

The problem is.. kita nggak berhasil menemukan exit 5 ataupun petunjuk arah menuju exit 5. Setengah jam kita berputar-putar kebingungan di stasiun yang rasanya mirip labirin. Yang semakin membingungkan adanya tulisan Osaka Station, kita dimana sih ini sebenernya? Tadi bener kok turunnya di Umeda Station. Sudah lelah dan nyaris putus asa, untungnya ada ibu-ibu Jepang yang baik banget mau nganterin ke jalan keluar. Alhamdulillaaaah, makasih yaa bu. Orang Jepang ini emang baik-baik bangeet.


Pas bikin tulisan ini baru aku cari tau tentang Umeda Station. Jadi ternyata Umeda subway station ini salah satu rute transit paling penting di Osaka. Naah yang bikin dia njlimet banget adalah karena posisinya yang connected dengan JR Osaka station, Hankyu Umeda station, Higashi Umeda station, Hanshin Umeda station, dan Umeda station posisinya persis di tengah-tengah. Ya panteeeees!

Di Shinjuku aja aku (alhamdulillah) nggak nyasar, nyasarnya malah di Umeda station, hahaha!

Long story short, kita berhasil menemukan underpass menuju Umeda Sky Building. Sudah hampir jam 10 malam dan Osaka makin dingin. Tujuan kita adalah Floating Garden Observatory di lantai 39 yang last entrance-nya ternyata jam 10. Dan karena udah jauh-jauh dan dibelain nyasar, kita tetep coba untuk naik dulu. Mana di depan lift pake acara berdebat dulu lagi sama mas-mas yang jaga lift. Jadi ceritanya, buat masuk ke Floating Garden perlu bayar 1000 yen, cuma aku baca di salah satu blog, kita tetep bisa naik dan liat pemandangan Osaka dari atas di jendela deket restoran for free. Dan itu yang Wiwin pertahankan.


Mas-mas penjaga lift juga bersikeras kalau naik itu harus bayar dan sebentar lagi udah mau tutup. Kita akhirnya iyain aja dan diperbolehkan naik. Dan sampe atas ternyata zonk sodara-sodara. Nggak adaa jendela yang buat liat pemandangan tanpa harus bayar. Jadi kita cuma duduk bentar sambil minum (capeek bok), terus turun lagi. But at least, kita tetep liat pemandangan Osaka waktu malem dari eskalator. Mayanlaaah.

Begitu keluar Umeda Sky Building niatnya mau duduk-duduk dulu istirahat, tapi tempat yang mau didudukin ternyata dingiin dan malem juga makin dingin. Mau foto gedungnya dari bawah juga nggak cakep karena lampunya nggak nyala. Yaudah deh kita jalan pulang. Alhamdulillah nggak pake acara nyasar lagi. Dari JR Osaka station kita tinggal naik kereta sebentar ke JR Fukushima station.


Yang kita lakukan begitu sampe hostel adalah bikin coklat panas! Dan yang aku suka dari J-Hoppers adalah tamu lain pada enak diajakin ngobrol. Sebenernya ini seninya nginep di hostel. Iya, kita sekamar sama orang-orang yang kita nggak kenal, privasi kurang. Tapi poin plusnya, kita bisa berinteraksi sama orang-orang dari berbagai negara, tuker cerita.. dan itu menyenangkan!


Kita ketemu temen-temen dari Indonesia yang nyampe Jepang lebih duluan dari kita. Obrolannya standar lah seputar asal kota, sama udah kemana aja di Jepang. Kita juga ngobrol lumayan lama sama cewek Jepang, Asumi namanya. Tadinya Asumi diem aja dan sibuk sama kerjaannya di meja deket kita. Tapi begitu kita basa basi nawarin dia minum, dia ikutan bikin minum dan malah terus ngobrol sama kita. Talking with stranger ternyata menyenangkan.


Malam pertama di Jepang ditutup dengan perut tenang dan hati senang! Tadinya kupikir Osaka akan jadi least favorite city, tapi aku suka gemerlapnya Osaka pas malem. Rame dan atraktif banget! Jepang udah bikin jatuh cinta dari hari pertama.   

Tuesday, November 29, 2016

[Jepang 2016] Haneda Airport, Tokyo - Osaka by Shinkansen

Selasa, 11 Oktober 2016.


Pukul 6.25, pesawat ANA NH856 yang kita tumpangi mendarat mulus di Haneda International Airport, 45 menit lebih cepat dari jadwal. Tanpa belok ke toilet dulu, kita langsung menuju loket imigrasi. Antrian pagi itu lumayan panjang tapi loket yang buka lumayan banyak, dengan seorang bapak-bapak yang membantu mengarahkan loket yang bisa dituju. 


Sekitar setengah jam mengantri, tiba waktunya giliran kita, dan tanpa pertanyaan satu pun, stiker landing permission untuk 15 hari tertempel manis di paspor.

ALHAMDULILLAAAAH..

Lega bangeeet.. Yeaaay, udah sah masuk Jepang inii!

Dengan perasaan lega dan riang gembira, begitu keluar imigrasi kita langsung nunggu bagasi yang ternyata lumayan lama. Selesai urusan bagasi, waktunya membuktikan kecanggihan toilet Jepang. Hahaa, habisnya banyak yang bilang toilet Haneda canggih banget, kan jadi penasaran. Tapi ternyata omongan orang-orang itu benar adanya, toilet Jepang emang canggih! Baru buka pintu toilet kita disambut suara gemericik air yang menenangkan. Jepang ini menghargai privasi banget ya, nggak ada deh kedengeran suara-suara aneh, amaaan haha.


Klosetnya sendiri penuh tombol-tombol di dinding. Tinggal pencet sesuai kebutuhan. Ada yang untuk bersihkan area belakang, ada yang untuk area depan, ada yang untuk ngeringin. Dan tekanan air bisa diatur sesuai keinginan. Malah ada juga yang pake penghangat buat dudukannya (gimana nggak betah?). Begitu selesai urusan, tinggal pencet flush aja deh. Buat mostly Indonesian yang nggak biasa sama toilet kering, Jepang ini memudahkan banget, bikin nggak males ke toilet. Tisu toiletnya bahkan yang larut air, tinggal cemplungin kloset terus flush.. ilang deh. Kereeen, bisa buat minimalisasi sampah banget.

Selesai norak sama toilet canggih, waktunya touch up sedikit. Maklum, kami mendarat pagi dan nggak ada waktu buat mandi dulu. Cuci muka, sikat gigi, pake deodoran sama parfum lagi cukup lah buat keliatan segeran. Tinggal bedakan sedikit udah cuss.. we’re ready to go!

Begitu keluar toilet, area pengambilan bagasi udah sepiii.. berarti kita lama banget ya di toiletnya, hahaa. Kita keluar dari area kedatangan, dan mulai melakukan satu persatu to do list sebelum meninggalkan Haneda Airport.


Pertama, tukar JR Pass di JR East Travel Service Center di 2nd floor arrival lobby, masih di lantai yang sama dengan area kedatangan. Tempatnya mudah ditemukan, lokasinya persis di sebelah entrance/exit Tokyo Monorail. Daan, antrian pagi itu lumayan panjang. Sambil mengantri, sama mbak-mbak Jepang bermuka menyenangkan dan bisa bahasa Inggris, kita disuruh isi form terlebih dahulu sambil memperlihatkan voucher JR Pass. Yaap, JR Pass yang kita bawa dari Indonesia memang bentuknya voucher yang baru bisa ditukarkan begitu sampai Jepang. Dan bisa dilihat dari muka-muka pengantri yang kebanyakan bule tanpa satupun Japanese, JR Pass memang cuma bisa dibeli di luar Jepang. For us, JR Pass is kartu sakti yang bermanfaat sekalii.

Sekitar setengah jam antri, aku disambut ibu-ibu Jepang yang ramah sekali dan bisa bahasa Indonesia sedikit-sedikit (whoaa, kawaaai!). Sambil mengurus aktivasi JR Pass kita, yang aku minta mulai hari itu juga sampai 7 hari ke depan, si ibu semangat cerita soal next trip-nya ke Indonesia. Aku takjub dong, soalnya dari omongan orang-orang, Japanese yang bisa bahasa Inggris itu nggak banyak. Lha ini aku malah ketemu Japanese yang bisa bahasa Indonesia. Kereeeenn!

Sekalian cetak JR Pass, aku juga minta reservasi tiket shinkansen ke Osaka. Karena waktu itu masih jam 8.30, si ibu menyarankan buat ambil shinkansen jam 9.40 atau 10.10, tapi mengingat kita masih punya banyak to do list, aku tetep ikut itinerary awal buat ambil shinkansen jam 10.40. Daripada ketinggalan kan mending nunggu, betul tidak? Hahaa.


So, begitu 3 kartu JR Pass, dan 3 tiket shinkansen Tokyo – Osaka di tangan, si ibu menjelaskan cara pakainya. Yang kerennya, ada petunjuk tertulis dalam bahasa Indonesia. Hahaha, saking banyaknya turis Indonesia yang ke Jepang kali ya?

First thing to do in Haneda Airport was done.


Second, pergi ke Tourist Information Center yang masih di lantai yang sama buat beli Tokyo Subway Pass. Rencana awal sih mau beli pass buat 3 hari, tapi aku berubah pikiran dan beli yang 2 hari karena pertimbangannya hari pertama full di Tokyo masih dicover JR Pass. Jadi kita beli Tokyo Subway Pass 48 hours seharga 1200 yen. Dan karena di sana juga jual Pasmo, kita sekalian beli (lebih praktis daripada beli di vending machine). Harga Pasmo 3000 yen dengan 2500 yen saldo, dan 500 yen untuk deposit (bisa diuangkan kalau kartu dikembalikan).


Benefit Tokyo Subway Pass adalah bisa dipakai di dua perusahaan transportasi swasta Tokyo, Tokyo Metro dan Toei Subway. Semuanya akses kereta bawah tanah a.k.a subway yang minim hambatan. Dengan Tokyo Subway Pass, kita nggak perlu pusing pilih jalur subway karena semuanya dicover. Tokyo Subway Pass cuma bisa dibeli di Haneda atau Narita, jadi meskipun explore Tokyo masih jadi rute terakhir, kita beli dulu meski dipakainya masih nanti.

Beres dengan urusan di lantai 2, kita turun ke lantai 1.


Third, ke Lawson beli tiket Fujiko F. Fujio Museum. Sedihnya, si Loppi mesin penjual tiket cuma bisa bahasa Jepang. Untunglah ada mbak-mbak Lawson yang bersedia membantu. Tapi ada satu kebodohan di sini, aku memplot Fujiko F. Fujio Museum di hari Selasa, dan ternyata oh ternyata Selasa museum tutup *haha, riset Dif, riset!*. Setelah berpikir secepat mungkin, kita pindah ke hari Rabu, dan tetap ambil jam 12. Meskipun mbaknya agak bingung-bingung begitu harus masukin nama dan nomer telpon (aku masukin nomer telpon hostel di Tokyo), akhirnya tiket Museum Doraemon aman dieksekusi. Tinggal bayar ke kasir, dan tinggal diprint sama mereka. So, third job was done!

Oh yaa, sebelum sampe Lawson tadi kita sempat dicegat polisi Jepang. Dua orang, dan aku lupaa namanya. Ternyata oh ternyata kita kena random sampling yang sering disebut-sebut di blog orang. Nggak perlu khawatir sih, tinggal tunjukin paspor, mereka catet-catet, udah deh malah terus ngobrol-ngobrol. Mereka tanya-tanya kita di Jepang ngapain aja, dan nggak ada serem-seremnya. Mereka baik banget malah. Haha, template orang Jepang kayaknya begitu ya? Nyenengin!

Aman dengan polisi Jepang dan urusan di lantai 1, kita pindah ke lantai 3 Haneda Airport.

 
 

Our last thing to do is beli tiket MotoGP di Seven Eleven. Dan ya, sama seperti mesin Loppi di Lawson tadi, mesin beli tiket di Sevel nggak ada bedanya, tulisannya keriting semua maaak! Nggak ada bahasa Inggrisnya, huhuu. Untungnya website Twin Ring Motegi nulis jelas step by step pembelian tiketnya. Kita tinggal nyocokin petunjuknya dengan tulisan di mesin, dan tiket general admission  MotoGP Motegi seharga 9600 yen, dan tiket pitlane walk di hari Sabtu seharga 2100 yen aman tereksekusi *officially bangkrut di hari pertama*.

Beres dengan tiket MotoGP artinya urusan di Haneda udah kelar semua. Kita balik ke lantai 2 menuju entrance Tokyo Monorail. JR Pass si kartu sakti mulai berguna di sini, tinggal tunjukkan ke petugas di gerbang, dikasih cap tanda pertama dipakai, terus tinggal naik kereta deh. Jalur hari ini Haneda Airport to Hammamatsucho by Tokyo Monorail. Lanjut Hammamatsucho – Shinagawa by JR Yamanote line. Dan Shinagawa – Shin Osaka by Shinkansen Hikari.


Sebelum berangkat, aku takut banget sama ruwetnya transportasi Jepang. Takut nggak bisa nemuin jalur yang bener, takut salah kereta. Ketakutan-ketakutan semacam itu. Tapi begitu dijalani ternyata bisa-bisa ajaa. Kita sampai Hammamatsucho dengan lancar. Dari stasiun Tokyo Monorail Hammamatsucho pindah ke stasiun JR jalan kaki keluar juga nggak bingung. Naik kereta JR sampai akhirnya sampai di Shinagawa juga lancar-lancar aja. Jam 10.35, 5 menit sebelum shinkansen kita datang, kita sudah berdiri manis di depan pintu masuk gerbong kita. Padahal kita dapet car 15 yang jalannya jauuuuh banget *shinkansen panjang banget ya bok?*


Kuncinya satu, tenang. Perhatikan betul-betul petunjuk yang ada. Petunjuknya jelas banget kok, yang penting kita tau mau naik apa, kemana. Kalau butuh bantuan, Hyperdia selalu ada. Gunanya buat apa? Buat tau jam dan departure track kereta yang mau kita naiki. Di stasiun besar, departure track pasti banyak banget. Tau dari awal departure track yang harus dituju bisa meminimalisasi resiko kebingungan dan nyasar. Berhubung Shinagawa bukan stasiun besar, Hyperdia nggak mencantumkan departure tracknya, yang berarti kita tinggal cari track khusus shinkansen.

 
 

Beberapa menit sebelum 10.40, shinkansen Hikari 509 pun datang. Karena sudah pesan kursi, kita tinggal duduk di nomor yang tertera di tiket. Kesan pertama naik shinkansen, leg roomnya luaaas. Koper gedeku masih bisa stay di depanku tanpa harus mengorbankan kenyamanan kaki. Ada meja kecil yang bisa ditarik kayak di pesawat. Kursinya juga nyamaan, bisa dimaju mundurin. Dengan laju kereta yang cepat dan jalannya mulus lus, bener-bener berasa kayak naik pesawat. Oh i love my first shinkansen ride!


Perjalanan menuju Shin Osaka nggak sampai 3 jam, tapi lumayan buat merem bentar mengingat di pesawat tadi sama sekali nggak bisa tidur. Meskipun dilema juga, soalnya liat pemandangan luar juga kayaknya nyenengin (Jepang gitu loh).

Tepat jam 13.26, shinkansen yang kita naiki tiba di Shin Osaka. Yap, Shin Osaka, bukan Osaka Station, karena stasiun untuk shinkansen di Osaka dibedakan (nggak kayak di Kyoto). Dan penderitaan dengan koper besar pun dimulai di sini. Untuk turun dari arrival track shinkansen ke ticket gate itu cuma bisa lewat tangga. Nggak ada elevator atau escalator. Dengan tenaga minim karena belum makan siang, kita kepayahan turun dengan koper yang bahkan belum ada tambahan bawaan aja udah beraat. Hoaaaah, penderitaan pertama hari ini!


Destinasi pertama di Osaka adalah hostel. Kita udah booking J-Hoppers Osaka, hostel most wanted yang lokasinya dekat Fukushima Station. Dari Shin Osaka menuju Fukushima harus lewat Osaka Station. Semua naik JR line yang tercover JR Pass. Dari Fukushima ke J-Hoppers ini deket dan mudah banget. Keluar Fukushima Station tinggal belok kiri, jalan dikit nyebrang rel kereta, terus belok kiri lagi (persis sebelum Mister Donut). Susuri jalan, di dua percabangan ambil yang sebelah kanan dan tinggal jalan lurus sampai nemu J-Hoppers di kiri jalan. Dekeet dan gampang ditemukan banget.

Kita sampai baru jam 2 lebih, tapi langsung diterima check in dan dikasih kunci begitu beres pelunasan kamarnya. Padahal jam check in-nya baru jam 3 nanti. Alhamdulillaah bisa istirahat dan mandi dulu sebelum jalan-jalan. Tapi sebelum bisa istirahat, penderitaan kedua hari ini pun datang. Hostelnya nggak ada lift!

Hiyaaaak, kita harus gotong-gotong koper di tangga sempit ke lantai 2! Alhamdulillah dapet kamarnya di lantai 2, bukan 3 atau 4 atau berapalah itu. Dan alhamdulillah-nya lagi, Wiwin yang sampe atas duluan mau bantuin, hihii tengkyuu Wiin!



Begitu sampe kamar yang penghuninya lagi di luar semua *yaiyalah masih terang begini*, kita duduk-duduk sebentar sambil bongkar koper dan antri mandi. Nggak pake acara merem dulu daripada kebablasan karena destinasi selanjutnya menantii *muka zombie kurang tidur*.