Friday, December 18, 2015

Sepang Trip 2015: Surprising Autograph Session

Morning, Saturday!

Persis seperti kemarin habis subuh langsung mandi dan siap-siap berangkat ke sirkuit, dan sebelum jam 7 kita udah jalan keluar hotel. Bedanya, hari ini kita sempat sarapan dulu di dekat Nu Sentral. Nasi lemak lauk telur ceplok yang murah meriah cuma RM 2,5 cukup buat amunisi pagi ini.

Perut kenyang, kita lanjut jalan ke shuttle bis SIC di KL Sentral. Sebelumnya, jemput Wiwin dulu yang hari ini barengan ke sirkuit di McD KL Sentral. Yay, akhirnya nggak berduaan mulu sama Tristan, haha. Sampai tempat shuttle bis, bis pertama sudah full, masih bisa sih kalo mau berdiri, tapi berhubung kita nggak buru-buru sampe sirkuit kita nunggu aja bis selanjutnya datang.

Saturday, December 5, 2015

Sepang Trip 2015: Unfocused Friday

Good morning, Friday! Jum’at artinya waktunya untuk mulai ngendon di sirkuit, karena free practice 1 dan 2 sudah mulai. Saking bersemangatnya, habis subuh aku langsung mandi (subuh di Malaysia lumayan siang btw, jam setengah 6 lebih baru masuk subuh, jadi dengan jam biologis Samarinda aku jadi tidur-tidur ayam setelah kebangun dari jam 4-an). Karena subuhnya agak siang, jam 7 pagi pas kita sudah siap dan keluar hotel, di luar baru aja mulai terang.

Seperti biasa mampir dulu di minimarket sebelah hotel, buat beli susu Dutch Lady yang sebenernya sama aja kayak Frisian Flag di sini, tapi enaknya berkali-kali lipat karena lebih kental. Niat untuk sarapan dulu diurungkan karena kita masih mau cari-cari  tempat mangkalnya RapidKL ke Sepang di KL Sentral dimananya.

Setelah mencari mengikuti insting, ketemu juga si RapidKL tujuan Sepang International Circuit. Jadi dari hotel yang ada di jalan besar Tun Sambathan, kita menuju KL Sentral lewat mall Nu Sentral. Turun dari eskalator Nu Sentral yang langsung disambut hall KL Sentral yang tahun ini kosong, jalan terus aja sampai setelah stasiun LRT ada belokan ke kiri. Belokan yang isinya orang jualan coklat, tempat makan, bakery, susuri aja sampai ketemu pintu keluar di arah agak ke kiri. Sebelum pintu keluar ada money changer dan jejeran ATM. Nah begitu keluar, di sanalah bus RapidKL mangkal.


Bis pertama berangkat jam 8 pagi. Waktu kita sampai belum ada jam setengah 8, tapi bisnya sudah datang. Dan pembelian tiket sudah dilayani. Di KL Sentral, pembelian tiket dilayani on the spot, RM 30 untuk return ticket dan RM 18 untuk one way. Kita beli tiket pulang pergi, dan tiket kembali ke KL Sentral nggak harus dipakai di hari yang sama. Jadi kalo mau melipir ke tempat lain, itu tiket masih bisa dipakai besokannya.


Jam setengah 8 lebih kita sudah duduk manis di dalam bis, nunggu bis penuh lalu kemudian berangkat meskipun waktu itu belum ada jam 8. Tahun kemaren karena nginep di deket sirkuit yang kemana-mana naik taksi, ini pertama kalinya aku naik RapidKL. Karena berangkat dari kota yang notabene jauh dari sirkuit, perjalanan memakan waktu lebih dari satu jam. Dan di jalan meninggalkan kota, kalau liat sisi jalan di sebelahnya wuiiih macet panjang sampai berkilo-kilo. Kayaknya banyak warga KL yang milih tinggal di pinggiran kota, jadi tiap pagi jalan ke kota, apalagi sebelum pintu keluar tol, macetnya nggak kira-kira.

Perjalanan yang lumayan lama sebenernya niatnya mau lanjut tidur, tapi ada bule yang ngobrol sambil ketawa-ketawa kenceng sampe mau tidur nggak bisa. Jadilah kerjaannya memandangi kota KL yang pagi itu hazenya masih lumayan parah.

Setelah satu jam lebih perjalanan, bis berhenti di parkir bis dan kita lanjut ke main gate dengan shuttle bis yang sudah berderet menunggu pengunjung sirkuit. Dari parkiran ke main gate deket aja sebenernya, tapi namanya kaki manja, kita lebih milih untuk naik shuttle.


Pagi itu baru jam 9, dan kita sudah sampai di main gate.  Seperti biasa mampir dulu di customer service centre buat ngambil brosur agenda race weekend itu. In case you have any question, ada banyak mbak-mbak dan mas-mas berbaju kuning dengan tulisan ‘Ask Me’, tanya aja, pasti mereka siap membantu.

Karena nggak ada yang perlu ditanyakan, kita lanjut jalan ke welcome centre yang mulai tampak antrian orang. Antri? Antri apaan masih Jum’at pagi juga?

Hoho, jadi tahun ini ada perubahan agenda MotoGP Sepang. Sesi Rider’s Autograph yang biasanya di Sabtu siang, dimajukan jadi Jum’at siang. Alasannya menyesuaikan dengan jadwal pembalap dengan sponsor di hari Sabtu. Kelihatannya perubahan ini agak mendadak, karena di brosur race, Rider’s Autograph masih dijadwalkan di Sabtu siang. Aku juga baru tau pas mendarat di KL dari instagram @sepangcircuit.

Jadi, hari Jum’at ada dua agenda penting sekaligus, Rider’s Autograph dan pitlane walk yang seperti biasa masih di Jum’at sore. Menurutku masih oke jadwal tahun-tahun sebelumnya sih, karena tahun ini kita jadi ngantri dua kali dalam sehari. Dan dua-duanya lama. Kasian juga yang baru datang hari jum’at sore atau sabtu pagi, udah nggak kebagian apa-apa.

But i don’t know this will be permanent or not. Biar nggak ketinggalan informasi, follow aja instagram @sepangcircuit. Di sana informasinya lengkap, termasuk pembalap siapa aja yang ikut di sesi 1 dan 2.

Buat Sepang first timer, sesi ini nggak boleh dilewatkan. Datanglah sepagi mungkin selagi antrian masih pendek, dan masih kebagian area di bawah foyer biar nggak kepanasan pas antri. Jam 8 itu waktu ideal buat sampe sirkuit. Nunggunya memang lama karena sesi 1 baru dimulai jam 11.20, tapi percayalah penantian itu worth it. Apalagi buat yang belum pernah ketemu pembalap MotoGP berjejer langsung di depan mata. Ini kesempatan terbesar buat ketemu pembalap kesayangan.

Nah, berhubung aku bukan Sepang first timer dan sudah tau rasanya antri dari pagi sampe siang dalam kondisi kelaparan dan kehausan. Tahun ini Rider’s Autograph dan pitlane walk skip dulu. Jam 9-an pas sampe antrian belum terlalu panjang sih, masih lah kebagian ketemu Dani di sesi 1. Tapi karena dari awal niatnya nggak ikut, kita lanjut jalan ke mall area.

Mall area Sepang circuit isinya deretan booth-booth jualan berbagai macam merchandise pembalap, yang bisa dipastikan original. Jadi, kalo mau belanja siapkan ratusan ringgit ya.

 
 

Karena hari masih pagi, dan baru hari pertama race weekend, booth-booth tadi masih sepi. Ada yang masih siap-siap malah. Jadi setelah nyangkut bentar di booth Honda, kita langsung masuk lewat gate main grandstand. Hari Jum’at belum ada pemeriksaan tiket, jadi buat pemegang tiket non main grandstand sekalipun masih bisa masuk.

 
 

Di dalam area main grandstand ternyata juga sama-sama masih sepi. Kita duduk di depan garasi Repsol Honda, nunggu free practice 1 MotoGP dimulai. Kabut asap pagi itu lumayan parah. Kabut yang bikin beberapa orang ketar ketir, khawatir race dibatalkan. Tapi sih aku optimis, race tetap sesuai jadwal mengingat suasana lagi panas-panasnya.


Mendekati free practice 1, garasi-garasi di seberang dibuka dan mulai terdengar raungan khas mesin MotoGP yang cempreng tapi ngangenin. Dan sepanjang free practice 1 aku nongkrong di MGS North sambil sarapan roti yang dibeli sebelum berangkat tadi.  

Satu jam pertama. Duduk anteng sambil foto-foto dan videoin Dani pas lewat.

Dua jam kemudian. Panaaas. Boseeen. Nggak tau mau ngapain.

Jadilah menjelang jam makan siang kita beralih ke sisi sirkuit yang lain, MGS south sambil mampir beli KFC buat makan siang. Tahun lalu kita sama sekali nggak ngerasain duduk di MGS south, dan ternyata nongkrong di situ enak banget, viewnya luas dan angin sepoi-sepoi. Enak banget buat tidur siang.

 
 

Hampir separuh track kelihatan dari MGS south. Mulai dari Dani keliatan di ujung sana, lewat persis di depan mata, sampai menghilang di tikungan terakhir jelang start/finish. Berkali-kali selama free practice 2.

Antrian pitlane walk
Seru sih, tapi ternyata tanpa paddock pass bikin kita nongkrong di sirkuit tanpa jelas juntrungannya. Mau ikut pitlane walk males, udah tau kalo panas minta ampun dan kemungkinan ketemu pembalap keluar kandang lumayan kecil. Jadi demi sebentuk paddock pass, kelar free practice 2 kita langsung ke hotel Dani dengan tujuan mencari Eric.

Keputusan tepat kah?

Sepertinya bukan. Jam setengah 6 kita udah sampe di hotel dan suasana masih sepi. Agak jiper juga sih mengingat biasanya banyak fans yang juga nungguin pembalap, tapi kita pede-pedein duduk di lobby hotel.

30 menit pertama. Duduk anteng sambil internetan mumpung wifi kenceng (namanya juga hotel bintang lima).

30 menit kemudian. Mulai gelisah, kok belum ada tanda-tanda siapapun dateng sih? Bahkan kru tim belom ada yang balik.

Dan nggak lama kita memutuskan buat balik aja, karena kelamaan nunggu Dani atau Eric menghilangkan satu malam buat jalan-jalan. Jadi dengan berat hati kita melangkah meninggalkan hotel.

Dasarnya how-how dari pagi, pas balik dari hotel abang kita sampe mau turun di eskalator naik sampe diingetin orang. Begitu beneran turun di eskalator turun, ternyata kita turun di sisi yang salah. Doeng! Jadilah naik lagi, untuk kemudian turun lagi di sisi eskalator yang lain.

Bener-bener butuh mizone saking nggak fokusnya.


But at night, things get better. Setelah sampai kota dengan Aerobus, kita lanjut naik LRT ke Pasar Seni, cari oleh-oleeeh! Habis borong coklat dan matcha oatmeal di Pasar Seni, lanjut ke Chinatown buat borong yang lainnya. Gunting kuku buat oleh-oleh temen kerja, dan jam buat adek sukses menyusutkan jumlah ringgit di dompet.

 
 

Hari yang tidak fokus ini lalu ditutup dengan nyobain es krim milo di sevel terdekat, dan apple pie McD di KL Sentral. Since milo is always there to brighten up my day, i’m still happy and hoping for a good day tomorrow. So, time to rest!


Sunday, November 22, 2015

Sepang Trip 2015: Dani Pedrosa and Teppanyaki for Dinner

Who had teppanyaki for dinner? Of course not me, namanya juga turis dana pas-pasan, haha. Jadi ceritanya setelah setengah hari pusing-pusing KL (padahal cuma ke Dataran Merdeka, Bukit Bintang, sama Pasar Seni), sore kita memilih jalan ke hotelnya abang. Karena hotel kita di tengah kota, tepatnya di daerah KL Sentral, kita harus naik bis sekitar 1 jam perjalanan masih lanjut naik KLIA transit baru bisa ke hotelnya abang.

Lumayan jauh, tapi adek rela kok bang, nggak masalah sama sekali demi kamu mah. Tapi begitu turun dari KLIA transit pake acara bingung dan bolak balik nggak jelas nyari jalan ke hotelnya, haha. Untunglah kita menemukan jalan yang benar, dan makin deket ke hotelnya, makin nggak karuan ini perasaan. Rasanya deg-degan, mual, panik nggak jelas, persis banget tiap Dani mau race. Tristan juga sama, dia juga deg-degan nggak jelas. Semoga ini pertanda baik.

Lagi jalan dengan perasaan nggak karuan, eh ada mobil golf berhenti ngajakin bareng ke hotel. Jelas dengan senang hati kita terima, lumayan bok hemat tenaga perjalanan masih panjang. Seru juga ya naik mobil golf, mana bapaknya ngebut ala-ala Marquez gitu, haha. Padahal kita bukan tampang-tampang penghuni hotel, tapi bapaknya baik banget ya mau ngangkut kita? :”)

Turun dari mobil golf dan masuk area hotel, makin deg-degan aja dong. Waktu itu kira-kira baru jam setengah 7 malam, dan di hotel udah lumayan banyak fans yang nungguin rider idolanya masing-masing. Biasanya mereka bergerombol masing-masing, fans Vale sendiri, fans Lorenzo sendiri, fans Marquez sendiri, fans Dani sendiri, dan juga fans-fans rider lain. Ada juga yang fleksibel, siapa aja yang lewat hayuk lah dideketin. Kebanyakan sih, mau mereka fans rider siapa juga, yang lewat asal ganteng dikit langsung deh diajak foto bareng.

Pihak hotel sudah paham betul kalau akses terbesar ketemu rider idola secara personal (tanpa akses paddock), ya di hotel mereka. Jadi asal nggak mengganggu jalan, bergerombol terlalu banyak, menghalangi lift, memblokade jalan masuk, sembarangan masuk restoran nggak bayar atau tawur antar fans, pihak hotel santai aja. FYI, kebanyakan yang nunggu di hotel itu orang Indonesia. Apa cuma kita ya yang jiwa stalkernya tinggi? Haha.

Nunggu rider idola di hotel bukan hal gampang. Sama sekali nggak ada kepastian waktu tunggu, bisa baru datang udah ketemu. Bisa udah jamuran baru ketemu. Dan bisa juga nggak ketemu sama sekali meski kita udah layu, ngantuk, dan kelaparan. Semua tergantung keberuntungan.

Dan gimana keberuntunganku malam itu?

First time met him!
Hello, Nicky!
Hello again, Stefan!
Hello, mas model!
Mas Dylan-nya akoooh!
I think i’m lucky enough to met Denis Pazzaglini (mekanik yang setia menyambut Dani di parc ferme), Nicky Hayden yang daritadi mondar mandir, Stefan Bradl, si ganteng kayak model Maverick Vinales, si ‘maniac Joe’ Andrea Iannone, sama mas Dylan Gray sang reporter MotoGP. Lorenzo juga ada lewat sih, tapi seperti biasa doi sok sibuk. Dovizioso juga lewat dan entah kenapa sambil geret-geret kopernya, kenapa mas, dieliminasi ya? *joke jadul amat Diif*

Terus Dani-nya mana?

Sampe jam 9-an nggak ada penampakan Dani sama sekali. Eric Pedrosa, adeknya, udah turun duluan dan seperti biasa langsung dirubung cewek-cewek. Eric yang ganjen tentu saja senang. Sebenernya kita dateng ke hotel selain kangen sama Dani, kita juga ada perlu sama Eric. Tapi sayang sekali Eric bukanlah Raul Jara yang siap membantu kita seperti tahun kemarin, dia malah nggak tau apa-apa soal yang kita tanyain. Yaudahlah, lanjut nunggu abangnya aja.

Biasanya begitu asisten pribadi muncul, bosnya bakalan nyusul (ups, soowry Eric! :p). Bener aja, meski selang sekitar setengah jam, Dani turun juga dari kamarnya.. dan dia langsung masuk ke restoran aja dong, hiih, abang nyebelin! Eh tapi kamu laper ya bang, yaudah deh sana makan dulu *lemah*.


Dani masuk ke resto Teppanyaki di sebelah bar hotel yang seingetku tahun lalu itu resto Brazilian plus Japanese juga. Sepertinya ini dinner team karena Marc juga masuk resto yang sama, juga beberapa kru Honda.

Nah, karena Dani udah keliatan batang idungnya tungguin aja dah. Pantang pulang sebelum foto bareng!

Setengah jam kemudian. ‘Ah, Dani makannya lama ya?’ batinku yang udah laper daritadi plus mulai ngantuk.

A step closer every 5 mins
Satu jam kemudian. “Bang, kamu makan berapa piring sih?” omelku yang mulai cranky. Kakiku udah tanpa sadar tiap 5 menit geser satu langkah mendekat ke restoran. Hotel juga udah nggak serame jam 8-an tadi. Nggak  ada rider cakep yang bisa dicegat sejak abang turun ke restoran tadi. Chef resto juga sempat keluar nemuin satpam hotel, dan denger nama Dani disebut-sebut, melebarlah telingaku.

“Bos, gimana ini Dani Pedrosa makan terus nggak berhenti-berhenti?”

“Yaudahlah kasih aja biar cepet gede. Doi kan suka banget teppanyaki.”

“Jadi biarin aja ni? Yaudah ane masuk lagi.” 

Begitulah kira-kira percakapan mereka, yang tentu saja hanya karangan belaka, haha. But seriously, Dani lama bener nongkrong di restonya. Untunglah nggak lama kemudian mulai tampak tanda-tanda kalau dinner mereka sudah selesai. Marc lebih dulu keluar, dan tentu saja langsung dirubung orang-orang yang masih tersisa. Aku nggak ikutan, karena takut Dani keluar dan malah nggak kekejar. Marc sebentar banget ngeladenin permintaan foto dan langsung naik ke kamarnya.

Daan, beberapa menit kemudian yang ditunggu-tunggu keluar. Aku jadi orang pertama yang mendekat ke Dani sambil ngeluh, “Do you know that we have waited you for so long?” Yang tentu saja tidak ditanggapi Dani. Tapi kayaknya Dani sadar banget kalo emang kita sabar banget nungguin dia. Jadi gantian dia yang sabar banget ngeladenin kita foto-foto. Haha tumben banget deh bang, efek kenyang teppanyaki ya?

Daninya cemerlang, akunya sudahlah tak perlu dibahas..
So this is it, another selfie with Dani Pedrosa! Hari itu untuk kesekian kalinya aku liat Dani dari dekat, dan kesannya selalu sama. His face is so tiny and cute till i wanna put him in to my pocket and take him home! Seriously, you won’t believe that he is 30 years old when you see him up close. Kalau dilihat di tv atau di foto, dengan raut wajah seriusnya, keliatan kalau.. okay, he is getting older. Tapiii begitu ketemu aslinya yang ada malah gemes banget, sampai tanpa sadar aku mencolek-colek tangan kanannya yang cidera. *ups, maaf bang!*

Begitu ketemu Dani, misi hari itu tuntas sudah. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam, waktunya pulaang! Aku dan Tristan pun jalan dengan hati gembira meninggalkan hotel. Lapar? Apa itu lapar? *hih gayaa, mentang-mentang udah ketemu si abang, laper sampe nggak berasa lagi*

Note:
Beberapa hari kemudian di blognya Dani membahas soal dia yang suka banget makan teppanyaki di Jepang sama Malaysia. Ooooohh, ya pantes kamu makannya lama bang, nggak tau apa yang di luar udah sampe jelek nungguinnya? Haha.

Saturday, October 31, 2015

Sepang Trip 2015: Being Tourist for a Day

Sejujurnya aku merasa bersalah, sudah beberapa kali datang ke Malaysia, tapi nggak pernah meluangkan waktu buat bener-bener mengeksplorasi kotanya. Tahun 2013, cuma numpang mendarat dan terbang lagi karena trip utamanya ke Singapur dengan tiket PP via Kuala Lumpur. Waktu itu cuma sempat main ke Pasar Seni sama foto-foto di Petronas. Tahun 2014 datang lagi, tapi agenda utama nonton MotoGP Sepang jadi lebih sibuk bolak balik sirkuit, dan lagi-lagi cuma sempat foto di Petronas (itu juga buru-buru karena udah kemaleman).

Tahun 2015 ini, kebetulan temen trip udah dateng sejak Rabu malam, dan kita baru berencana main ke sirkuit hari Jum’at. Jadii.. kita punya agenda bebas di hari Kamis. Asiik, akhirnya! Kemana enaknya kita?

Sebenernya ujung-ujungnya tetep nggak ada ide mau kemana, haha. Tapi mumpung santai kemana aja hayuklah. Dan pilihan untuk nginep di tengah kota memudahkan rencana jalan-jalan kita. Kamis pagi jam setengah 8 dalam keadaan belom mandi kita udah keluar hotel, cari sarapaan! Kenyang makan bihun goreng murah meriah cuma RM 2,5 sambil mengamati orang-orang yang siap berangkat ngantor, kita balik lagi ke hotel. Pengennya sih tidur-tidur lagi, tapi sayang banget udah jauh-jauh ke negeri orang masa mau tidur mulu? Jadi kita mandi dengan semangat 45 dan jam 10 sudah cantik (?) siap jalan-jalan.

Tujuan kemana, Dif?

Sebelum berangkat ke KL, gara-gara blogwalking, aku jadi pengen foto di logo I LOVE KL yang katanya adanya di KL City Gallery, Dataran Merdeka. Jadi oke, kita kesana!

Namanya lagi santai, karena kalo mau ke KL Sentral kudu lewat mall Nu Sentral, jadi kita jalan-jalan dulu sekalian di Nu Sentral. Liat-liat The Face Shop, pengen beli penghilang komedo sebenernya, tapi mahal kali pun hampir sampe RM 50. Nggak lucu kan baru hari kedua duit udah menipis? Haha, jadi kita pindah nangkring ke F.O.S, mau beliin sepatu bayi lucu di sana, tapi lagi-lagi karena masih hari kedua bawaannya males ngeluarin duit. Jadilah ujung-ujungnya nggak beli apapun dan mau lanjut ke Dataran Merdeka aja naik LRT dari KL Sentral.

Pas sampe KL Sentral pas ada event seni gitu jadi area tengahnya rame, dan banyak yang ngajakin foto mbak-mbak berbaju adat yang mau tampil. Kita cuma liat bentar, terus beli tiket LRT ke Masjid Jamek.

Menurut informasi, KL City Gallery bisa dicapai dari stasiun LRT Pasar Seni atau Masjid Jamek dan itu nggak jauh dari KL Sentral. Nggak tau rutenya sih, tapi kita coba aja turun di Masjid Jamek. Sebelum keluar stasiun LRT udah tanya petugasnya sih, dan udah diarahin. Tapi karena diarahinnya pake bahasa Malay, yang ada kita malah bingung. Tanya orang nyebrang nggak tau, tanya satpam bank dianya malah bingung. Yaudah deh, google maps to the rescue!

Jadi sodara-sodara, kalo mau ke KL City Gallery dari Masjid Jamek, keluar stasiun LRT bisa belok kanan atau kiri. Boleh cap cip cup, tapi setelah melewati dua rute, kayaknya kalo belok kanan jalannya lebih deket.

Begitu sampe KL City Gallery ngapain? Ya foto-foto dong. Kalo masuknya gratis mungkin kita mau liat-liat sekalian dalemnya KL City Gallery, tapi karena harus bayar RM 5, kelar foto kita lanjut jalan lagi.

KL City Gallery ada di daerah yang namanya Dataran Merdeka. Dan tempat ini bedaaa banget feelnya, classy and artsy. Suka banget liat arsitektur gedung-gedungnya. Kalo nggak panas sih betah aja duduk-duduk doang di pinggir jalan. Tapi berhubung panas (padahal cuaca mendung karena kabut asap) dan lapaar, begitu puas foto-foto, kita jalan balik ke LRT Masjid Jamek.

Rencana mau cari makan di Bukit Bintang sekalian jalan-jalan, tapi dari LRT Masjid Jamek nggak ada jalur monorel ke Bukit Bintang. Jadi yaudah deh kita malah turun dulu di Pasar Seni a.k.a Central Market, mampir  cari oleh-oleh. Tristan sebenernya yang mau beli, tapi tergoda tester yang enak, aku ikutan juga beli matcha crunchy oatmeal. Murah dan kekinian, sebungkus isi 40 harganya RM 10.

Dengan gembolan di tangan masing-masing, kelar urusan di Pasar Seni, kita lanjut ke Bukit Bintang. Dan nggak jadi naik monorel dari KL Sentral. Kenapa? Karena ternyata ada GoKL (bis gratisan) yang jurusannya Bukit Bintang lagi ngetem di arah kita balik ke stasiun LRT. Wihiiw, mayaan gratis bisa keliling kota.

Saking enaknya duduk setelah kelamaan jalan, bawaannya jadi males turun padahal udah sampe ni di Bukit Bintang. Tadinya pengen masuk Pavilion, mall yang isinya barang-barang branded, tapi karena males turun, kita baru turun di deket Lot 10. Cari-cari tempat makan menarik, dan akhirnya langkah kita berhenti di depan resto Nasi Ayam Hailam yang tampak ramai. Dan ternyata harganya lumayan sodara-sodara, RM 10 untuk paket Nasi Ayam Hailam goreng. Tapi emang ayamnya gede dan tempatnya bagus sih, jadi wajar lah harganya segitu.

Kenyang makan, saatnya pulang! Hah, habis makan siang kok pulang aja sih? Katanya mau jadi turis seharian?

Iya sih rencananya begitu, tapi barbie capek, udah berat bawa belanjaan lagi. Jadi sekitar jam 3 kita balik lagi ke hotel, tidur-tidur sambil ngecharge hape, mandi and then cabut lagi.

Kemana?


Ke hotelnya abang yuk ah! Udah kangen berat, haha. Jadi turis seharinya bubaaar! :p

Friday, October 30, 2015

Sepang Trip 2015: Preparation?

Haha, kenapa pake tanda tanya segala, Dif? Yaa habisnya bisa dibilang Sepang Trip kali ini nyaris minim persiapan. Nyaris nggak berangkat lagi malah. Tapi untunglah berkat kekuatan bulan, tahun ini aku masih diberi rejeki dan ijin buat berangkat ke Sepang lagi. Dan ijin baru turun akhir September, yang manaa.. MotoGP Sepang udah nggak sampe sebulan lagi.

Lalu apakah yang kupersiapkan?

Hmm, apa ya? Kayaknya cuma booking hotel deh. Tiket pesawat BPN – KLIA2 udah dibeli sejak Maret mumpung promo Air Asia. Tiket berangkat dibeli dengan niat yaudah deh kalaupun nggak kepake aku ikhlasin aja, beramal buat Air Asia *gayamuu, Dif!*. Tiket race juga udah nitip beliin sebelum periode early bird habis di akhir Juni. Niatnya sih mau dijual aja di akun sebelah kalo nggak jadi pergi, atau kalaupun nggak dijual yaudah diikhlasin dan buat kenang-kenangan aja.

Jadi begitu fix boleh pergi, barulah mulai cari-cari hotel. Tahun lalu udah stay di daerah yang deket sirkuit, dan udah tau enak nggak enaknya. Tahun ini, pengen coba sesuatu yang lain, which is.. staying in the city. Dan pilihan jatuh ke daerah KL Sentral, biar kalo mau kemana-mana transportnya gampang. Awalnya sebenernya mau di My Hotel yang di daerah KL Sentral sendiri ada 3 chain hotel. Tapi setelah dipertimbangkan harganya, nemu hotel yang (tampaknya) lebih worth of money, namanya Prescott Hotel. Masih di daerah KL Sentral, nggak sedekat My Hotel, tapi setidaknya nggak di daerah orang India (aku pernah nginep di deket My Hotel, di situ banyak orang India dan entah kenapa aku takut).

Booking hotelnya via booking.com dan dapat kamar superior twin seharga 1,4 juta untuk berdua selama 5 malam (21 – 26 Oktober), belum termasuk tax dan service fees. Pokoknya target tahun ini nggak boleh dapat hotel zonk kayak tahun kemaren, jadi sengaja nggak mau milih yang terlalu murah atau yang tampilannya nggak meyakinkan. Dan so far, Prescott Hotel (tampaknya) memenuhi kriteria.

Tiket berangkat udah. Tiket race udah. Booking hotel juga udah. Apalagi?

Oh ya, tiket pulang! Nah, ini dia yang bikin galau banget. Aku dibolehin pergi dengan syarat nggak boleh lama-lama, which is.. Ahad pulang. Okelah aku beli tiket Air Asia KLIA2 – BPN hari Ahad, harganya murah sih nggak sampe 500 ribu, atau RM 137 aku bayarnya. But, penerbangan ke Balikpapan cuma ada sekali dan itu pagi. Konsekuensinya, aku nggak bakalan bisa nonton race. Temen-temen waktu tau langsung yang, “What? Are you kidding? Whats the point coming back in Sunday without watching the race?”

Selama berhari-hari aku meyakinkan diri, yaudah Dif nggak apa-apa, yang penting udah sempet refreshing sama beli milo, tiket pulang Senin juga mahal banget, harganya sampe 1,7 juta. Tapi yang ada makin hari makin goyah, mana Dani menang lagi di Motegi. Di Phillip Island memang biasanya Dani biasa-biasa aja sih, tapi keliatan kalo Dani makin kuat sejak Aragon.

Untunglah lagi-lagi berkat kekuatan bulan, aku dibolehin pulang hari Senin.. sehari sebelum aku berangkat. Haha, jadilah hari Selasa (Rabu aku berangkat) aku beli tiket lagi buat pulang hari Senin setelah race.

“Beli tiket lagi? Banyak duiiiit!”

“Oh iya dong!” *bangga* *padahal pegang dompet kenceng-kenceng*

Tapi ternyata, last minute decision ini jadi yang terbaik, kalo nggak mungkin aku bakalan nangis-nangis di depan TV. Harga tiket juga ajaibnya turun ke bawah 1 juta, alhamdulillah.. kayaknya ini konspirasi semesta.

Nah, yang penting-penting udah beres semua. Selanjutnya? Beresin kerjaan sebisa mungkin, biar nggak keriting pulang liburan, haha.

Untuk yang kecil-kecil, karena ini bukan trip pertama, jadi yang dibawa liat list tahun kemaren aja lah. Santai begini sebenernya bukan aku banget, tapi yang penting.. I’M READY TO GO!

SEE YOU AGAIN, MALAYSIA! SEE YOU AGAIN, ABANG DANI!

Wednesday, October 14, 2015

Accidentally in Love with These Korean Songs

Clazziquai Project – 러브레시피(Love Recipe)


Band indie Korea ini nggak asing sebenarnya buatku. Udah sejak lama aku suka lagu mereka yang judulnya “I Will Give You Everything”, tapi nggak pernah sengaja ngikutin karya-karya mereka. Nah suatu waktu pas lagi main di Youtube, dan bukain lagunya Clazziquai, nemulah satu lagu yang dari pertama dengar langsung suka.. Love Recipe. Beatnya asik, MVnya juga nyenengin banget liatnya, menggiurkan, haha. Lagu ini bisa dibilang moodboster favorit sepanjang masa. Setiap lagu ini terputar di playlist, pasti refleksnya senyum dan kalo mood lagi jelek bisa mendadak mendingan. Aku ini bosenan, tapi sama lagu ini nggak pernah bosen. Love Recipe is my all time favorite.

Accoustic Collabo - 그대와 , 설레임


Lagu ini bener-bener ditemukan nggak sengaja, dan semua berkat Plus Nine Boys. Ada yang kenal Plus Nine Boys? Drama yang tayang musim gugur tahun 2014 di tvN ini memang nggak terlalu populer, cerita juga nggak yang oke banget. Tapi lagu-lagunya, mau itu OST atau backsound musicnya memuaskan selera indieku bangeeet. No, Accoustic Collabo nggak masuk di OST atau backsound musicnya Plus Nine Boys, tapi aku menemukan mereka berkat Standing Egg. Band Indie yang lagunya dinyanyiin salah satu tokohnya yang diperankan Yook Sung Jae. Lagi cari-cari lagunya Standing Egg yang enak di youtube, eh malah nemu lagu band Indie lain, ya Accoustic Collabo ini. Lagunya enaaaak banget, bikin naksir sejak pertama dengar. 

Brother Su - (Feat. Lovey)


Aku naksir lagu ini karena lagu ini jadi backsound music MV shipper delulu Oh My Ghost. Haha, ini MV favorit banget deh, chemistry mereka on and off screen bener-bener over the moon. Bagaimanalah para shipper ini tak berharap lebih. Dan ujung-ujungnya aku malah penasaran sama lagu yang dipake di MVnya dan akhirnya jadi salah satu lagu favorit. Makasih banyak loh uploadernya sudah mengenalkan lagu enak banget ini.

Akdong Musician – 200%


Kalo lagu ini bukan nemu di youtube, tapi karena diputer di radio. Berhubung di radio suka nggak disebutin judul lagu yang lagi diputerin, jadi begitu denger lagunya diputer langsung deh belingsatan nyari lagunya di soundhound. Untuuung ketemu, padahal lagu Korea. Lagunya upbeat dan bikin semangat. Meskipun udah punya lagunya di handphone, tiap lagu ini keputer di radio pasti excited sendiri.

***

Jadi, apakah kesamaan lagu-lagu di atas? Semua dinyanyikan musisi Indie dan semua nadanya menenangkan, kecuali lagunya Akdong Musician yang upbeat. Nggak ada lagu yang jadi OST drama, tapi karena itu semua rasanya fresh tiap didengerin. Tipe-tipe lagu favoritku ya yang begini ini, lagu yang enak banget dihayati sambil merem (meskipun nggak ngerti artinya) sampai akhirnya ketiduran, haha.

Seleraku memang selera indie, jadi malah nggak doyan sama lagu-lagunya boyband atau girlband Korea yang super terkenal.


Ada yang punya lagu Indie Korea favorit juga? Share boleh lho..

Tuesday, October 6, 2015

Derita Asma Kambuh

Sepertinya aku memang punya bakat alergi, salah satunya asma. Asma ringan kalo kata dokter waktu periksa jaman kuliah dulu. Karena masih tergolong ringan, lebih sering diemin aja pas timbul serangan. Kalo sudah mulai agak mengganggu, baru minum salbutamol tablet, itu pun dosis terkecil yang 2 mg. Biasanya sih terus mendingan.

Nah, semalem asmaku tiba-tiba kambuh. Entah pencetusnya apa, kecapekan perasaan nggak, stress juga nggak, dan nggak juga cari gara-gara sama faktor pencetus macam debu dan semacamnya. Awalnya didiemin seperti biasa, tapi kok yang ada makin megap-megap kayak ikan mas koki? Yaudah akhirnya memutuskan minum obat (itu juga disuruh dulu sama dokter jaga RS). Masalahnya, udah dicari kemana-mana kok salbutamolku nggak ketemu ya? Harusnya sih masih punya stok. Harusnya, maklum udah lama nggak minum. Tapi nihil, udah bongkar-bongkar semua tas nggak nemu juga.

Untunglah adekku yang baik hati mau balik bentar dari RS demi nganterin salbutamol. Kuminum lah itu obat. Setengah jam, satu jam, satu setengah jam, dua jam, kok masih sesek ya? Jam 11-an malem mulai ribet lah cari anti radang, untungnya lagi adekku punya stok di rumah, dexamethasone tablet. Kuminum lagi, dan berusaha tidur. Alhamdulillah bisa tidur nyenyak.

Tapi subuh pas bangun, kok masih sesek?

Jadilah sebelum berangkat kerja minum salbutamol lagi. Dan begitu sampe RS, langsung minum metilprednisolon 4mg tablet juga. Harusnya mendingan dong ya? Wong udah ditambah anti radang yang lebih kuat.

Tapi nyatanya nggak, napas masih aja rasanya susah. Meski tetep bisa kerja seperti biasa sih, untungnya juga pasien lagi nggak rame. Karena rasanya belom juga mendingan, akhirnya aku mau dinebulizer (padahal udah disuruh dari tadi).


Haha, jadilah untuk pertama kali dalam hidup aku dinebulizer! Atau bahasa awamnya diuap. Teorinya, jalan napas akan lebih cepat lega karena obatnya langsung masuk ke paru-paru, nggak belok kemana-mana dulu dibandingkan kayak kita minum tablet. Dan aku udah pake combivent unit dose yang kata pasien sih kebanyakan langsung enakan setelah pake itu.

But the problem is, habis dinebu aku masih tetep sesek. Haha, sumpah ini episode kambuh terlama, dari isya sampe besok siangnya masih aja napas rasanya berat. Udah diperiksa dokter, tapi nggak ada wheezing atau bunyi-bunyi aneh. Nggak ada batuk, nggak ada keluhan gastritis. Selain susah napas, nggak ada keluhan lain. Jadi bingung kenapa juga nggak sembuh-sembuh?

Tanpa bertanya ke dokter, habis makan siang aku minum salbutamol, yang 4 mg lagi. Sebelum minum obat udah mulai tremor gitu. Terus selang 10 menit, rasanya badan mendadak lemes kayak nggak punya tenaga. Jadi mengungsilah aku ke kamar pasien buat tiduran.

Mungkin karena tampak mengkhawatirkan, pada hebohlah nyuruh injeksi ranitidin lah, diinfus lah. Disuntik? Dicucuk? Noooo, bukannya takut, tapi aku merasa kondisiku nggak separah itu jadi semuanya kutolak. Hehe, tekanan darah emang rendah banget sih 80/50 mmHg makanya rasanya kayak hampir pingsan. Tapi selain lemes, rasanya aku baik-baik aja. Iyaa, aku emang pasien bandel. Sampe diomelin dokter gara-gara masih diminum aja itu salbutamolnya padahal nggak ada wheezing (dan aku belom bilang aku minum yang 4mg, pasti tambah kena omel).

Jadii dengan meminum salbutamol pas makan siang itu emang aku jadi lemes banget dan jantung sempat berdebar karena kelebihan dosis, tapi habis itu asmanya sembuh. Hehehe, win-win? No?


Gak apa-apa, yang penting sembuh. Maaf ya bu dokter, pasienmu ini bandel, disuruh apa-apa nggak mau. Besok-besok nggak boleh lupa lagi stok salbutamol, oke ibu Apoteker? Dan asma, kalo kambuh yang cepet aja ya sembuhnya. Eh, nggak kambuh jauh lebih bagus..

Tuesday, September 29, 2015

Happy Birthday, Dani Pedrosa!


Normalnya, orang yang ulang tahun yang akan nerima surprise. Tapi ini kebalik, yang ada malah kita yang dikasih surprise sama Dani. Penampilannya di MotoGP Aragon 2 hari sebelum ulang tahunnya bener-bener di luar ekspektasi. Siapa yang nyangka Dani mampu bertahan belasan lap dari serangan seorang juara dunia 9 kali, Valentino Rossi, sampai klimaksnya di lap terakhir Dani makin agresif dan lebih dulu finish untuk posisi 2?

Bukan, sama sekali bukan meremehkan idola sendiri. Selalu ada alasan kenapa Dani bertahan begitu lama di tim sebesar Repsol Honda tanpa gelar tertinggi satu pun. Selalu ada alasan kenapa Dani masih jadi fantastic four pembalap MotoGP. Selalu ada alasan untuk semua hal.

Buktinya ada di MotoGP Aragon lalu. If we have to say the reason behind his superb performance, it must be DETERMINATION.

Nggak banyak pembalap yang bisa bertahan dari gempuran The Doctor. Stoner di Catalunya 2007 dan Marquez di Qatar 2014, dan Dani bergabung di tim elit itu (Lorenzo belum pernah menang long battle dengan Rossi). Super intense battle. Tiap Rossi berhasil nyalip, Dani akan nyalip balik. Nggak cuma sekali, tapi berkali-kali. If you watch the race, you can feel one thing from every moves.. it called determination. Dani has decided to hold his second position, dan he did it! Meski yah, jantung ini rasanya hampir copot karena saking tegangnya.

Begitu Dani menyentuh garis finish lebih dulu dari Rossi, leganya kayak habis melahirkan (well, padahal belum pernah :p).

Who says Dani can’t fight? Who says his times is already over?

No, they are wrong! Dani gives the best birthday gift, for him and for us. Dani still the best and always be the best, forever and ever. Rasanya lega sekali liat semangat juang Dani kembali dan bikin kita semua bergumam, ‘Ini lho Dani yang ditunggu-tunggu’. Musim ini jelas berat karena cedera arm pump, tapi seperti Dani biasanya, he’ll bounce back stronger. Dan Aragon pembuktiannya, di race yang cuma 2 hari sebelum ulang tahunnya ke 30.

Dan hari ini, 29 September 2015, my kryptonite Dani Pedrosa berulang tahun ke 30. Umur di mana seseorang akan makin dewasa dan matang. Fans yang baik akan selalu mengharapkan segala yang terbaik untuk idolanya. Sampai umur 30 memang hal terbesar yang diharapkan Dani belum tercapai, tapi selalu ada mantra ampuh.. never stop believing!

So, dear Dani Pedrosa..

You’re the one that always cheering me up when i feel down, your smile never failed to make me smile even wider.

Life maybe always hard. But you never alone, you have us besides you in all up and down.

The sour grapes in your mouth will be gone and a super big smile will replacing it.

Someday, your sun will shining so bright. Your best day in life will come.

You are the best. And always be, forever and ever.

HAPPY 30TH BIRTHDAY!!

Wishing you a great journey, with countless smile on your face.


Love you sincerely,
Difa



P.S: Thank you for the best birthday gift, Dani! Do it often and make the impossible possible. Fighting, champion!! #Happy30BDayPedrosa

Friday, September 25, 2015

Oh My Ghost Withdrawal: Fangirling Jo Jung Suk


Lima minggu sudah Oh My Ghost tamat. Withdrawalku sudah hampir sembuh, meskipun sampai sekarang aku belum punya tontonan apapun lagi. Tapi, yang terjadi selama lima minggu ini bener-bener di luar kebiasaan. Semakin lama aku punya kecenderungan untuk semakin cepat move on dari satu drama, tapi ternyata nggak berhasil di Oh My Ghost.

Dan satu hal yang paling di luar kebiasaan, aku sampai hampir memproklamirkan diri jadi fans Jo Jung Suk!

Well, sekedar informasi, dari Endless Love, drama Korea yang kutonton pas jaman batu sampe sebelum ini, nggak ada tuh satu aktor Korea pun yang bikin aku bener-bener ngefans. Naksir karakter sering, tapi yaudah sebatas itu. Begitu dramanya tamat, tamat juga naksir-naksirannya.

But no, anomali rupanya terjadi gara-gara Oh My Ghost. Berkat Chef Kang Sun Woo yang adorable, aku jadi menemukan Jo Jung Suk yang ternyata juga adorable.


Jadi begini kronologisnya. Semua dimulai dari episode 7, waktu Chef show off ke Bong Sun dengan nyanyi plus main gitar. Cuma itu aja udah bikin aku klepek-klepek. Nah, dari dramabeans aku tau kalo lagu Sweet Chocolate (atau belakangan ternyata judulnya Gimme a Chocolate) itu ternyata ciptaan Jo Jung Suk sendiri. Aku langsung yang wow, he is super talented! Aktor tapi juga bisa nyanyi bisa main gitar dan bisa nyiptain lagu! Lagunya enak pun! Aduuuh, ampun! Lagu Sweet Chocolate sendiri kudengerin sampe ibaratnya kalo itu kuputer pake kaset pitanya bisa sampe kusut.


Dari situ aku tau kalo background Jo Jung Suk itu aktor musikal. Oooh, pantes! Udah aktingnya jago, suaranya juga bagus. Sekedar informasi lagi, aku paling lemah sama decent actor who sings well, macam uri Chef ini.

Begitu dramanya tamat dan withdrawal syndrome starts haunting me, makin-makinlah cari taunya makin gencar. Jo Jung Suk sebenernya bukan wajah asing buatku. Aku nonton dia di King 2 Hearts. Aku tau dia main sama IU di You’re the Best Lee Soon Shin. Aku juga udah donlot filmnya dia sama Shin Min Ah (My Love, My Bride), meski belum ditonton sampe selesai. Tapi bener memang, seorang aktor akan tampak makin-makin bersinar kalau karakter yang dimainkan bener-bener oke and well received. Dan begitulah Jo Jung Suk, he’s shining so bright in my eyes because his Kang Sun Woo Chefunim.  

Di minggu pertama, kedua, dan ketiga, aku sibuk browsing segala hal yang berkaitan dengan Jo Jung Suk, dari semua sumber. Wikipedia, youtube, soompi (pertama kalinya aku main bukan ke thread drama). Aku juga donlot You’re the Best Lee Soon Shin episode acak (maklum, 50 episode aja gitu) demi melihat wajah ganteng chef lagi. Dan, untuk pertama kali dalam hidup, aku nonton Running Man, episode Jo Jung Suk dan Shin Min Ah. Iya, aku emang kuper nggak pernah nonton Running Man sama sekali. And Jo Jung Suk has that privilege, bikin aku tergerak buat nonton. Oho, you have to be proud, Chef!


Di soompi pun, tiap nemu fotonya yang tampak ganteng sekali, aku pasti ngikik-ngikik nggak jelas kayak tiap liat foto Dani pas ganteng. Persis banget lah kelakuan fangirl begitu kan?


This is new for me! Aku nggak pernah membayangkan akan naksir sebegininya sama aktor Korea. Dan yang kutaksir bukan aktor A list, bukan Hallyu star. Jo Jung Suk bukan aktor terganteng se-Korea, debutnya di film atau drama juga cenderung terlambat karena dia lama fokus di musikal. Tapi sampai saat ini cuma Jo Jung Suk yang bikin ngikik-ngikik nggak jelas cuma gara-gara liat fotonya. Alay banget kan? Hahaa.


If i have to make a list, i’m attracted to him because he is...
·         Ganteng dan keren, apalagi kalo pake kemeja hitam atau dark blue dengan lengan yang sedikit dinaikkan. Beuuh, ampun deh! (Btw setelah  diperhatikan, kayaknya lengan kemeja dinaikkin sedikit emang udah jadi trademarknya)
·         Setia. Yeah, unfortunately he is taken! Awal tahun ini dia mengabarkan kalau sudah dating dengan Gummy selama 2 tahun. This is the main reason why our ship sunk meskipun chemistrynya sama Park Bo Young over the moon banget (meskipun tetep aja kita delulu). Dan Jo Jung Suk ini tipe yang mau ribet menjelaskan ke media tentang suatu hal untuk menjaga perasaan pasangannya, sumpe deh so sweeeet banget!
·         Aktingnya oke. List dramanya memang belum banyak, baru What’s Up (2011), The King 2 Hearts (2012), You’re the Best Lee Soon Shin (2013), sama Oh My Ghost (2015). Sementara movie, dia jadi supporting cast di Architecture 101 (2012), The Face Reader (2013), The Fatal Encounter (2014). Main cast di My Love My Bride (2014), Journalist (rilis Oktober 2015), sama Time Renegade (udah kelar syuting tapi belum tau kapan rilis). Dan tahun kemaren dia kembali ke musikal dengan Blood Brothers. Itungannya cukup produktif untuk aktor yang baru mulai di small or big screen in 2011, dan di setiap perannya, meskipun cuma supporting cast.. he always be the scene stealer! Reputasi bagus kan?
·         Jago nyanyi, gitaran, plus nyiptain lagu. Makanya hampir di setiap dramanya dia jarang disia-siain, pasti ada aja adegan nyanyi sambil main gitar, plus ngisi OST. Setiap OST yang dinyanyiin Jo Jung Suk lagi jadi favorit banget akhir-akhir ini, terutama duetnya sama IU yang judulnya Beautiful Song.. lagunya enaaaaak banget, coba deh dengerin.
·         A caring person. Keliatan dari gesturenya di setiap behind the scene, terutama sama Park Bo Young. Buruknya, shipper delulu ini jadi makin tak tertolong.
·         King of ad-libbed! Hahaa, artinya banyak adegan yang ternyata improvisasi. Contoh, di episode 16 waktu Sun Woo nangis di pelukan Bong Sun, aslinya mah mana ada di script. Daaan, kiss di final episode itu juga improvisasinya sama Park Bo Young. Yang sambil digendong itu idenya Jo Jung Suk, dan yang kiss untuk kesekian kalinya idenya Park Bo Young. Aww, cocok banget deh dua orang ini!

Itu semua bikin aku hampir memproklamirkan diri jadi fans Jo Jung Suk. Wait, kenapa hampir?

Terus terang, aku ini anaknya gampang berubah. Dan sekarang, di minggu kelima, seiring withdrawal syndrome yang mulai perlahan membaik. Aku merasa mulai netral lagi. Aku udah nggak seintens dulu main di soompi-nya Jo Jung Suk, dan nggak rerun-rerun dramanya lagi, meski tetep seneng pas ada update di akun twitternya.

Buatku, semua ada masanya. Mungkin nggak sampai lima minggu aku dalam fase fangirling, tapi menurutku itu cukup. I’m discovering a new thing!

Sampai saat ini aku mendiagnosa fangirling-ku ke Jo Jung Suk dalam rangka withdrawal syndrome Oh My Ghost, tapi mungkin saja diagnosaku salah. Yang jelas, i have to say thank you to Kang Sun Woo Chefunim, i’ve got to know Jo Jung Suk through him. 

I’ve became a happy fan girl for a few weeks! I'm really happy! ^^

Thursday, September 10, 2015

Sinopsis Oh My Ghost Episode 16 (Final) Part 2


Sun Woo dan Bong Sun kembali ke Sun Restoran, dan di depan sudah banyak ucapan-ucapan selamat untuk Bong Sun. Sun Woo membaca dan mengulangnya, “Congratulation, Na Bong.” Bong Sun tertawa riang mengiyakan.


Tapi di dalam, restoran sepi tak ada siapapun. Bong Sun dan Sun Woo sampai kebingungan. Tapi tadaa.. empat chef kita muncul dari balik meja kasir dengan cake di tangan, dan mulai bernyanyi “CONG-RA-TU-LATIONS! CONG-RA-TU-LATIONS!” Mereka menari-nari riang dan memberi selamat Bong Sun. Bong Sun berterimakasih dengan tak kalah riang.


Min Soo mau mencolekkan krim dari cake yang mereka siapkan ke Bong Sun, tapi Sun Woo sengaja maju dan krim itu mengenainya. Ia tertawa, “Astaga kau ini, sudah kubilang jangan melakukan hal semacam ini.” Sun Woo lalu membalas dengan krim yang lebih banyak ke wajah Min Soo, haha. Min Soo tertawa tak percaya, di hari bahagia seperti ini ia masih kena omel karena wajah Sun Woo terkena krim.


Bong Sun yang selamat ikut tertawa dan membantu menghilangkan krim dari wajah Sun Woo. Tapi bagaimanapun Min Soo bangga padanya, tak percuma ia sudah membesarkan Bong Sun. Sun Woo tak terima, ia yang lebih banyak melakukannya. Ji Woong menengahi, “Aigoo, Bong dibesarkan oleh neneknya, kenapa tiba-tiba kalian berdebat soal siapa ayahnya?” Hahaha.

 
 

Selagi semua tertawa, Joon tiba-tiba memeluk Bong Sun sebagai ucapan selamatnya. Bong Sun sih terima-terima saja, tapi Sun Woo dan Min Soo yang langsung menarik Joon menjauh. “Astaga, apa Bong menyelamatkan negara kita atau semacamnya? Kenapa terlalu banyak skinship?” protes Sun Woo sambil melindungi Bong Sun. Karena itu Sun Woo langsung dikatai monster pencemburu, haha.


“Ngomong-ngomong, berapa uang hadiahnya? 1 juta? 2 juta?” tanya Dong Chul penasaran. Menurut Ji Woong bukan uangnya yang penting, ia dengar tiga pemenang akan dapat beasiswa belajar di luar negeri. Bong Sun bingung, ia baru dengar soal itu, dan tatapannya langsung mengarah pada Sun Woo, meminta penjelasan. Yang ditatap gugup dan malah minta tissu.


“Kenapa kau tak memberitahuku?” tanya Bong Sun saat mereka hanya berdua di rooftop. Sun Woo masih pura-pura tak mengerti, jadi Bong Sun mengulang pertanyaannya soal hadiah itu. “Kenapa? Kau pikir aku tak akan menang?” tambahnya. Tentu saja, jawab Sun Woo, siapa yang berpikir Bong Sun akan memenangkan tempat ketiga di kompetisi pertamanya? Ia sampai mengeluhkan Bong Sun yang benar-benar jadi icon plot twist. “Aku memintamu untuk tak mempermalukan gurumu, tapi tempat ketiga?”


Bong Sun jadi bingung. Ia tak tau Su Woo memujinya atau tidak. “Tentu saja... ini pujian. Kau benar-benar melakukannya dengan baik, Na Bong Sun,” aku Sun Woo yang lalu memeluk Bong Sun.

“Lalu, apa yang akan kau lakukan? Aku akan mengikuti pilihanmu. Belajar di luar negeri bukan keharusan dalam memasak. Kalau kau ingin mencari pengalaman di dapur yang sebenarnya, aku akan membantu. Kalau kau ingin belajar di tempat lain, aku akan membiarkanmu pergi.”


Bong Sun berpikir sejenak, dan saat Sun Woo melepas pelukannya, ia sudah punya jawaban. Ia ingin pergi. Sun Woo terdiam, bukan itu jawaban yang diinginkannya. Bong Sun ingin pergi bukan untuk CVnya, tapi ia ingin pengalaman belajar dan bekerja paruh waktu di dunia yang lebih besar, dari awal, langkah demi langkah, semua oleh dirinya sendiri.


Sun Woo tak yakin, orang-orang di sana terlalu terbuka. Bong Sun meyakinkan kalau ia tak akan melihat orang lain. Kali ini Sun Woo yang tak percaya diri, karena gadis-gadis mendekatinya sepanjang waktu. Bong Sun menunduk pasrah, itulah yang sebenarnya paling ia khawatirkan.


Sun Woo tiba-tiba bangkit dan masuk ke kamarnya, menunduk makin dalam lah Bong Sun. “Harusnya kubilang aku tak akan pergi,” sesalnya.

Tapi tak lama Sun Woo keluar lagi. Bong Sun sudah bertanya-tanya apa Sun Woo marah, tapi lalu ia melihat kalungnya di tangan Sun Woo. “Setidaknya aku harus memakaikanmu ini. Kau tau pria Eropa sangat suka wanita Korea kan? kalau kau pergi dengan pria yang mendekatimu, kau akan mendapat masalah dengan kalung ini,” ancam Sun Woo tak tenang.


Tau Sun Woo akan memasangkan kalung itu, Bong Sun langsung berdiri agar selisih tinggi mereka tak terlalu banyak. Tapi Sun Woo malah mendudukkan Bong Sun di pangkuannya, lalu memakaikan kalungnya. Bong Sun tersenyum memegang kalungnya, tapi tangannya lalu meraih tangan Sun Woo yang ada di belakang tubuhnya, dan meletakannya di pingganggnya.


Sun Woo mendesah frustasi, “Apa yang harus kulakukan? Meskipun kau di pelukanku, aku sudah mulai merindukanmu.”


“Aku tau, Chef. Aku juga mengkhawatirkan itu,” sahut Bong Sun yang memeluk Sun Woo. Ia mendengar Sun Woo terisak, tapi Sun Woo menyangkal, ia tak menangis, ia hanya emosional. Bong Sun tak tau apa yang harus mereka lakukan, dan memeluk Sun Woo makin erat.


[Dua Tahun Kemudian]


Stalker tak lagi sendirian di rooftop restoran. Ia ada di sana beserta istri dan anak-anaknya.


Bisnis Shaman Unni membaik berkali-kali lipat dibandingkan dulu. Rumahnya penuh antrian orang, dan  mereka yang datang rela membayar berapapun untuk mendapatkan jimat yang ampuh. Ia bahkan tampil di acara TV dan punya channel sendiri, Suhbingo Channel. Shaman Unni sukses besar, ia yakin tak ada yang lebih baik darinya dalam membunuh roh jahat. “Aku akan menghukum roh-roh jahat! Bingo, Bingo.. Suhbingo!” teriaknya semangat di antara orang-orang yang memujanya.

 
 

Di Sun Restoran, ada satu perbedaan yang langsung kentara. Min Soo mengenakan seragam hitam seperti yang biasa dikenakan Sun Woo. Meski ada yang tak berubah, ia tetap saja annoying. Ia mengganggu Ji Woong yang sedang mengaduk saus. Ia protes karena potongan daging Joon makin tebal saja. Tapi Joon yang tampak serius dengan kacamatanya beralasan rasa steak tak akan sempurna kalau potongannya terlalu tipis.


Tapi giliran Dong Chul, ia yang sekarang memanggilnya Hyung sama sekali tak bisa memprotesnya. Ia malah memuji Dong Chul melakukan semua dengan baik, dan benar-benar tampak seperti chef sekarang.


Setelah itu ia mencari seorang lagi, sous chef baru mereka, yang baru hari pertama sudah terlambat. Ji Woong dengar sous chef itu juga belajar di luar negeri seperti Joon. Min Soo tak peduli, bagaimana bisa sous chef memakai celemeknya setelah chef? Nanti kalau ia datang, Min Soo akan membuatnya BAB di celana hanya dengan mendengar namanya.


Pintu restoran terbuka, sous chef baru itu akhirnya datang (cameo by our handsome Seo In Guk). Sous chef baru yang keren dan percaya diri. Ia mengenalkan diri, namanya Edward Seo. Min Soo mengenalkan dirinya sebagai chef di restoran itu dan mengulurkan tangan, tapi bukannya menyambut Edward  malah sibuk melihat-lihat restoran. Menurutnya tempat itu lebih kecil dari ekspektasinya.


Posisi sous chef jelas di bawah chef, tapi Edward tak tampak segan pada Min Soo. Ia tau Kang Sun Woo pemilik restoran itu, dan menebak Min Soo hanya chef yang digaji. Min Soo tak bisa menyangkal, tapi faktanya Sun Woo memasrahkan restoran itu padanya, sambil menunjukkan foto besar dirinya yang dipajang di dinding.


Tapi Edward tak tampak tertarik, tetap saja Min Soo hanya chef yang digaji, dan ia minta gajinya dibayar tepat waktu. Ia bahkan lebih memilih menyapa gadis yang menggantikan tempat Eun Hee di kasir.

Terpaksa Min Soo menariknya, “Kenapa kau tak pergi menyapa keluarga yang lain? Ayo!” Min Soo sudah mau mengenalkan mereka satu per satu, tapi Edward tak mau, menurutnya itu terlalu membosankan. Ini bukan tahun 1988, orang tak lagi melakukan itu. Min Soo sampai terdiam.


Edward Seo memang kurang sopan, tapi aksinya di dapur membuat pelanggan wanita tak henti menatapnya kagum. Dan lagi, menurut Ji Woong, masakannya memang sangat enak. Sambil memasak Edward minta Min Soo mengecek pesanan, dan kalau sudah selesai lanjutkan membuat pasta cumi. Min Soo sudah mengiyakan, tapi Joon angkat bicara. “Chef Heo bukannya bermain-main, kenapa bukan kau saja yang mengurus pastanya?”


Disangka Edward akan marah, tapi ia malah suka cara Joon dan bertanya siapa namanya? Joon tak mau memberitahu. Ia meninggalkan tempatnya lalu merangkul Min Soo, “Tidakkah kau merindukan Kang Chef?” Sementara Edward menunjukkan keahliannya dengan mengurus dua wajan sekaligus di tangannya.


Kalau Chef Kang Sun Woo tak ada di Sun Restoran, lalu di mana ia? Rupanya ia membuka restoran baru yang lebih kecil tapi tampak sangat nyaman, dan yang terpenting ada menu nasi di dalamnya. Pekerja di sana hanya 2 orang, dirinya sebagai chef, dan Kyung Mo. Sun Woo sendiri yang menyodorkan menu, ia juga yang meneriakkan pesanan, padahal ia sendiri yang akan memasaknya.


Kyung Mo sampai tak mengerti, toh di restoran sekecil ini semua orang bisa dengar. Sun Woo berbisik kalau itulah prosedur yang seharusnya. Ia sampai mengeluh karena Kyung Mo terus saja menjawab perkataannya, ia sudah memberi kesempatan Kyung Mo belajar tanpa membayar sama sekali. “Kau bilang kau mau belajar dan membantu ayahmu,” ujar Sun Woo mengingatkan.

Kyung Mo mengiyakan, tapi ia masih tak mengerti kenapa Sun Woo meninggalkan restorannya yang sangat baik-baik saja dan membuka tempat kecil ini? Sun Woo malas menjelaskan, jalan Kyung Mo masih panjang dan menyuruhnya memotong sayuran saja.


“Sun Woo-ya,” sapa So Hyung yang baru datang. Sudah lama sejak restoran baru Sun Woo dibuka, tapi ia baru sempat datang karena terlalu sibuk. So Hyung memuji restoran yang tampak sangat nyaman itu, meski ia heran, Chef yang spesialisasinya di pasta tiba-tiba beralih ke fusion Korean? So Hyung kagum pada kemampuan Sun Woo mengambil resiko, jadi ia mengulurkan sebuah amplop.

Kebiasaan di Korea, jika seseorang membuka tempat usaha baru, temannya akan datang membawa tanaman atau amplop berisi uang. Tapi karena menurut So Hyung membawa tanaman hanya akan merepotkan, jadi ia memberikan yang dibutuhkan Sun Woo saja. Sun Woo tak menolaknya dan berterimakasih.


So Hyung memberitahu kalau sebenarnya ia datang bersama seseorang yang akan datang setelah parkir. Sun Woo jelas penasaran, apalagi So Hyung bilang kalau orang itu seorang pria dan mereka sudah berkencan lebih dari sebulan. Sun Woo otomatis memberi selamat, “Seperti apa dia? Aku benar-benar penasaran.”


Begitu pria itu masuk, Sun Woo hanya bisa menatap tak percaya sampai ia tergeragap mengenalkan diri. Pria itu mirip sekali dengan Chang Kyu. Waktu pertama So Hyung melihatnya ia juga shock, sampai bertanya-tanya apa Chang Kyu punya kembaran.

Tiba-tiba So Hyung teringat soal Bong Sun, “Ah ya, bagaimana dengan Bong Sun? Kau sering bicara dengannya?”


“Oh tentu saja, setiap pagi dan malam,” jawab Sun Woo meski anehnya senyumnya mendadak hilang. So Hyung tak merasa aneh dan memberi saran agar Sun Woo menerima semua telpon Bong Sun dengan gembira, pasti tak mudah hidup sendirian di tempat yang sangat asing.


Hidup baru juga hadir untuk Eun Hee. Tak lagi di Sun Restoran, Eun Hee membuka toko bunga miliknya sendiri. Ia sedang membuat buket bunga yang cantik saat ibunya datang terburu-buru. Ibu minta maaf sudah terlambat, rekan kerjanya di kampus yang bernama Professor Park terus saja mengganggunya. Eun Hee tak masalah, ia suka Professor Park. Menurutnya ia pria paling baik dari semua yang pernah ibunya kencani.

Tapi ibu tak mau, ia tak suka pria yang terlalu perhatian seperti itu, mengingatkannya pada seorang bernama Choi... Ups, kata-kata ibu terhenti seolah nama itu tak seharusnya disebut. Ia lalu mengalihkan perhatian pada buket bunga Eun Hee, “Aku tak pernah melihat ini sebelumnya. Apa ini baru?”


Eun Hee mengiyakan, nama bunganya cockscomb. Bunga yang meskipun luarnya terlihat keras, tapi sangat lembut di dalamnya. Sangat cantik kan? Ibu tak begitu tertarik, ia tak suka sesuatu yang lebih cantik dari dirinya.

“Bunga ini artinya cinta yang tak akan mati, seperti cinta abadi,” jelas Eun Hee yang tersenyum. Dan karena mereka hampir terlambat, Eun Hee mengajak ibunya segera pergi.


Tadi di toko bunga, Eun Hee masih menggunakan kursi rodanya seperti biasa. Tapi saat hampir sampai tujuan mereka, Eun Hee berjalan dengan tongkat. Pelan-pelan Eun Hee melangkah. Ibu ingin menemaninya, tapi hari ini Eun Hee ingin pergi sendirian. Ibu mengerti, ia memberikan buket bunganya dan minta putrinya hati-hati.


Tujuan Eun Hee ternyata adalah tempat Sung Jae dirawat (dengan polisi yang berjaga di sana). Ya, ternyata ia bertahan hidup setelah jatuh dari ketinggian. Tapi, ia kehilangan ingatannya. Tau Eun Hee akan datang hari ini membuatnya lebih bersemangat, ia bahkan menghabiskan semangkuk penuh nasi. Apalagi Eun Hee datang membawakannya bunga. Ia suka semua bunga yang dibawa Eun Hee, sampai ia bertanya-tanya, apa dulu ia sangat suka bunga?


Eun Hee menggeleng. Jadi Sung Jae berkesimpulan, kalau bukan bunga yang ia suka.. pasti Eun Hee yang ia sukai. Barulah Eun Hee membenarkan, kau sangat.. sangat baik padaku. Sung Jae tanya berapa lama mereka sudah hidup bersama? “Tiga tahun,” jawab Eun Hee.


Sung Jae sedih tak bisa mengingat semuanya, tapi ia yakin ia pasti bahagia dan itu membuatnya ingin cepat mengingat semuanya. Ia khawatir Eun Hee frustasi dengan keadaannya yang sekarang. Eun Hee menggeleng lagi dan tersenyum meyakinkan, ia menyukai Sung Jae yang sekarang, jadi Sung Jae tak perlu terlalu berusaha keras mengingatnya.  


Sun Woo sendirian di rooftopnya sambil memberi makan Stalker dan anak-anaknya. Ia mengomel sendiri, curiga Bong Sun selingkuh darinya atau semacamnya. Menurutnya ini berlebihan, dulu saat awal-awal Bong Sun mengirim foto dan semuanya, tapi sekarang tak ada berita sama sekali. “Hey, kau pikir dia punya pacar baru, ya kan?” tanya Sun Woo putus asa ke anak anjing.


Tapi tidak, pasti tidak. Sun Woo berusaha meyakinkan dirinya, Bong Sun tampak sangat muda di umurnya, orang luar negeri melihatnya seperti anak-anak. “Bagaimana mungkin mereka melihatnya sebagai wanita? Tidak, itu pasti tak mungkin.”


Tapi di malam yang sama, saat ia sudah di kamar, pikirannya berubah lagi, “Bagaimana mungkin pria tak jatuh cinta padanya?” Ia bahkan men-zoom foto Bong Sun saat mereka di Namsan, dan menyesal saat melihat wajah Bong Sun yang cantik dan bersinar, seharusnya ia tak membiarkannya pergi. Seharusnya ia tak berakting sok keren soal itu.


Sun Woo memainkan gitarnya sembarangan. Ia makin frustasi karena Bong Sun sama sekali tak menghubunginya. Sun Woo sampai bernyanyi sambil menangis saking ia sangat merindukan Bong Sun. “Ah, harusnya aku tak pernah membiarkannya pergi! Semua pria pasti sudah mendekatinya,” sesal Sun Woo yang menangis seperti anak kecil. Ia bahkan ragu kalau Bong Sun memang menyukainya. Pasti ia hanya suka sepihak.


Sun Restoran sedang super sibuk, tapi Alfred atau siapalah itu tak tampak batang hidungnya. Ji Woong berkata kalau ia masih jetlag dan memilih tidur. Min Soo tak tahan, mereka harus mencari sous chef baru.

 
 

Seorang pelanggan datang, dan Ji Woong pergi menyambutnya. Tapi ia langsung terpana melihat ternyata Bong yang berdiri di hadapannya. “Sunbae-nim!” sapa Bong Sun yang berubah jadi makin cantik. Ji Woong langsung memeluk Bong Sun gembira lalu berteriak memberitahu keberadaan Bong Sun pada yang lain. “Bong Sun! Bong! Na Bong di sini!” teriaknya heboh.


Semua menyambut Bong Sun gembira. “Kenapa kau berubah sangat banyak? Aku tak bisa mengenalimu!” “Kau benar-benar Bong yang baru sekarang. Apa yang terjadi?” “Apa kau baru sampai hari ini? Apa kau sudah selesai belajar?” “Kau masih membawa barang-barangmu, apa kau langsung datang ke sini?”


Pertanyaan-pertanyaan excited mereka membuat Bong Sun tertawa dan minta mereka bertanya satu-satu, ia tak bisa menjawab satupun. “Bong, kau Bong..” ujar Min Soo seolah marah sambil menunjuk dirinya. Bong Sun mengenali perbedaannya dan langsung memanggil Min Soo ‘Chef’.


“Kenapa kau tak menghubungi sama sekali? Saat aku melihatmu lagi aku akan..” Min Soo membuat gerakan seperti akan memukul, tapi ternyata ia malah memeluk Bong Sun. Itu membuat semua ikut memeluk Bong Sun, sambil terus meneriakkan nama Bong Sun, “Bong, Bong, Bong, Bong, Bong.”


Ayah yang tampak sangat sehat sedang membuat kimchi di restorannya, dan sekarang ia menggunakan soda agar kimchinya makin enak. Bong Sun datang, dan dengan senyumnya yang cerah ia menanyakan kabar ayah. Tentu ayah senang melihat Bong Sun lagi, ia pasti habis mimpi indah semalam. Saat ditanya kesehatannya, ayah menjawab yang terpenting ia sudah berhenti minum akhir-akhir ini. Bong Sun jelas senang mendengarnya.


Seperti biasa ayah mau memberikan yogurt atau semacamnya, tapi Bong Sun bilang ia hanya mampir tapi nanti ia akan kembali. Mulai sekarang, meski ayah menyuruhnya tak datang, ia akan tetap sering datang. Ayah tertawa tak percaya, “Bagaimana bisa kau menyempatkan diri? Kau akan makin sibuk setelah menyelesaikan studimu. Pasti banyak tempat akan memintamu.”


Bong Sun tertawa, sama sekali tidak, tetap saja ia masih newbie. Ia masih akan memikirkan tempatnya bekerja nanti, tapi selama selang waktu itu, kalau ayah mau merekrutnya sebagai tenaga paruh waktu, ia akan sangat gembira. Tapi dengan syarat ayah harus memberi gaji per jam yang bagus, ia tak mau dibayar dengan yoghurt. Ayah tertawa setuju.


Sementara itu orang terpenting yang belum Bong Sun temui sedang mengomel di restorannya. Siapa lagi kalau bukan pada Kyung Mo. Ia menyuruhnya membeli udang 1 kg yang terasa seperti 10 kg, bukannya membeli 10 kg. Sekarang ia tak tau mau diapakan udang-udang itu. Kyung Mo tak mau disalahkan, kenapa juga perintahnya seperti itu. Kalau mau potong saja gajinya. Tambahlah Sun Woo mengomel, gajinya bahkan sudah tak cukup, ini bukan pertama kalinya. Tapi sudahlah, ia tak berharap banyak pada seseorang yang membeli keranjang padahal ia menyuruhnya membeli kerang. Laah? Haha.


“Kalau aku seburuk itu, pekerjakan saja orang lain! Aku keluar mulai sekarang,” ujar Kyung Mo ngambek lalu pergi. Otomatis Sun Woo melihat jam.. jam 3.30. “Kenapa dia keluar setiap jam 3.30 setiap harinya?” Hahaa, mereka ini cute banget!


Di luar Kyung Mo berbalik, sepertinya biasanya Sun Woo menghentikannya, tapi kali ini tidak. Ia menghitung sampai 3, tapi Sun Woo benar-benar tak keluar. Kyung Mo jadi pusing sendiri, apa aku harus memohon? Ia sudah mau melangkah masuk ke restoran lagi, tapi ia merasakan kehadiran seseorang di belakangnya dan berbalik.


Begitu melihat Bong Sun, ia langsung memeluknya. Seperti anak kecil ia mengeluhkan Bong Sun yang sama sekali tak menghubunginya.

 
 

“Shin Kyung...” panggilan Sun Woo yang ternyata menyusul keluar terhenti. Ia terdiam melihat Bong Sun ada di hadapannya. Tak mau terjebak suasana canggung, Kyung Mo pergi mengurus udang-udangnya.


Bong Sun sedang melihat-lihat restorannya saat Sun Woo datang dengan masakannya. Bong Sun boleh mengkritiknya kalau mau, ujar Sun Woo tanpa menatap Bong Sun sedikit pun. Bong Sun terkejut melihat ada nasi di masakan yang dibuatkan untuknya.


Sun Woo yang lebih terkejut karena Bong Sun tau-tau muncul tanpa mengatakan apapun, sudah berbulan-bulan ia tak mendengar kabarnya. “Dan ada apa dengan penampilanmu? Itu tak cocok,” ujar Sun Woo memalingkan wajah. “Apa aku seberbeda itu? Kau merasa canggung denganku, Chef?” tanya Bong Sun. Sun Woo menyangkal, lagi-lagi tanpa menatap Bong Sun, ia menyuruh Bong Sun mencicipi masakannya saja.


Bong Sun menurut, ia mencium aromanya dulu sebelum menyuapkan ke mulutnya. Sun Woo tampak gugup menunggu responnya. Menurut Bong Sun, dagingnya lembut, teksturnya bagus, sausnya juga enak karena tak terlalu kental, tapi sepertinya daun perilla dan bawang saja belum cukup dan usul untuk menambah bean sprout agar teksturnya sedikit renyah. Tak mau tampak kalah, Sun Woo berkata ia juga sudah berpikir soal itu. Owh your pride Cheef!

Ia mengakui kalau Bong Sun pasti sudah belajar dengan keras. Bong Sun mengiyakan, ia termasuk murid unggulan di sana. ”Aah, kau pasti belajar terlalu keras sampai tak bisa menghubungiku. Kau tak punya waktu kan?”


“Chef, apa kau marah padaku?”

Sun Woo jelas menyangkal, ia juga sangat sibuk. “Aku khawatir aku ingin pulang karena aku sangat ingin melihatmu. Karena aku sangat merindukanmu. Jika aku mendengar suaramu, aku takut aku akan berlari kembali padamu. Aku tak menghubungimu karena itu. Aku menahannya dengan semua kekuatanku,” ungkap Bong Sun.  


Sun Woo tentu luluh dan meraih Bong Sun ke pelukannya, ia juga sangat merindukan Bong Sun. Dan ia memuji Bong Sun melakukannya dengan baik.

 
 
 

Ia lalu mengangkat Bong Sun sampai yang diangkat teriak kaget. Tapi ia senang karena terus dipuji, dan menghadiahi Sun Woo ciuman. Tak hanya sekali, tapi dua kali, tiga kali, empat kali! Sun Woo tentu senang dan tak mengeluh lelah meski sedang membopongnya.


Mereka pulang ke Sun Restoran. Sun Woo tanya rencana Bong Sun selanjutnya, kalau belum ada yang spesifik, Bong Sun bisa coba bekerja dengannya. “Oh! Apa kau sedang mencoba merekrutku sekarang?” tanya Bong Sun. Ia sudah punya rencana tapi belum mau memberitahu sekarang.

Bong Sun senang karena rooftop Sun Woo sama sekali tak berubah, dan lebih senang lagi saat melihat Stalker. Ia menyapa Stalker dan anak-anaknya antusias. Tapi itu membuat Sun Woo tak terima, kau lebih senang melihat Stalker daripada aku?

 
 

“Astaga, kau dan cemburuanmu,” komentar Bong Sun. Tambahnya Sun Woo tak terima, “Apa? Cemburu? Hey, aku Kang Sun Woo dan kau Na Bong Sun. Dua tahun tak akan mengubah itu. berani-beraninya kau bilang aku cemburu. Kau pikir aku akan cemburu pada anjing?” Oh, you did Chef!


Sun Woo yang cemburu begitu membuat Bong Sun ingin menggodanya. Ia memeluk sampai Sun Woo hampir jatuh dari tempat duduknya, “Kalau kau seperti ini, itu membuatku ingin melakukannya denganmu.” Itu membuat Sun Woo heran, apa kau benar-benar Na Bong Sun? Apa mungkin kau..?


Bong Sun menggeleng, dan berkata cute kalau ia Na Bong Sun. Sun Woo mulai tak tahan, “Kau hanya belajar hal buruk di luar sana. Ini tak bagus. Kita tak bisa.”


“Tak bisa? Apa yang tak bisa kita lakukan, Cheef?” goda Bong Sun. Sun Woo tertawa pasrah, dan menyuruh Bong Sun bangkit. Bong Sun menurut, tapi begitu berdiri yang ada Sun Woo langsung menggendongnya. “Hari ini adalah harinya,” gumam Sun Woo membuat Bong Sun terpekik kaget.


Selanjutnya, di kamar Sun Woo hanya terdengar suaranya dan Bong Sun. ‘Oh Chef, kenapa kau? Omo..’ pekik Bong Sun yang langsung disuruh Sun Woo diam. ‘Chef, bukankah lebih baik lampunya dimatikan?’ Lalu hanya terdengar tawa Sun Woo dan pekikan Bong Sun sebelum lampunya benar-benar mati.

***


Sun Restoran masih tetap ramai di tangan Min Soo sebagai chef, dan Ji Woong, Joon, dan Dong Chul sebagai asistennya.


Restoran ayah Soon Ae kembali ramai seperti saat dulu. Tempat duduknya semua terisi penuh. Dan Bong Sun ada di sana sibuk mengantarkan pesanan. Pelanggan lama ayah komentar, ia pikir ayah hanya punya satu putri, apa ada lagi? Ayah mengiyakan, Bong Sun adalah putri keduanya yang baru kembali dari belajar di luar negeri. Bong Sun tertawa riang bersama mereka.


Sun Woo juga sibuk di restorannya berdua dengan Kyung Mo.

Dan tentu saja Bong Sun terus berbahagia bersama Sun Woo. Kencan mereka bahkan naik sepeda berdua sekarang.


Bong Sun: ‘Seperti bagaimana seharusnya, musim berganti. Dan hari-hari penuh dengan rutinitas. Musim panas itu, karena seorang gadis yang datang dan pergi seperti mimpi malam musim panas. Kita bisa mengerti cinta, dan menyadari betapa berharganya sebuah hubungan dan orang-orang di sekitar kita. Dan seperti sarannya, aku terus mencintai diriku sendiri hari ini, dan juga.. aku mencintainya.


- THE END -


Komentar:
Well, this is indeed my favorite drama this year! Kupikir makin kesini aku makin mudah move on dari satu drama, karena kemaren-kemaren nyatanya begitu. Tapi nggak dengan Oh My Ghost, makanya sampe episode terakhir kusayang-sayang sampe nggak kelar-kelar ditulis padahal udah hampir 3 minggu sejak tamat (iya ini alasan doang).

Selama berminggu-minggu ini, mungkin episode final udah kutonton puluhan kali tanpa bosan. Oh My Ghost memang bukan drama flawless, tapi semua rasanya pas pada akhirnya. Jarang-jarang drama yang konfliknya selesai di episode 15, dan episode terakhir tinggal jatahnya buat happy ending sehappy-happynya. Even a dog get their happy end, hahaa.

Btw, kalau gara-gara Falling for Innocence aku jadi suka makan lollipop. Gara-gara Oh My Ghost aku jadi ngefans sama uri Chef alias Jo Jung Suk. His charm is too strong i can't handle it! He's becoming my moodbooster now.

Sama anjing aja keliatan cocok ya? :p
Cheeef, bete ya Bong Sun deket2 Joon? :))
Best hug!

Bye for now, Chef! But, OMG season 2? YES YES, WANJONG YES!!